1000-931 SM; Sumber Yahudi dan Kristen menyebutkan bahwa Sulaiman (Salomo) adalah orang yang membangun tempat ibadah yang dikenal Bait Suci pertama, Bait Salomo, atau Kuil Sulaiman. Lokasi pasti dari Bait Suci pertama ini masih tidak diketahui, tetapi dipercaya berada pada tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjidilaqsa.
586 SM; Nebukadnezar II, Raja Babilonia, menghancurkan Bait Suci pertama.
538 SM; Raja Koresh yang Agung memulai pembangunan Bait Suci kedua. Sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes yang agung membangun ulang dan memperlebar Bait Suci, melibatkan sampai 10.000 pekerja.
66 M; Umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi, namun gagal.
79 M; Pasukan Romawi di bawah Titus Flavius Vespasianus menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua.
130 M; Kaisar Hadrianus menjanjikan untuk membangun ulang Yerusalem, tetapi kota berdasarkan kepercayaan pagannya, juga hendak membangun kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan Dewa Jupiter di bekas reruntuhan Bait Suci kedua. Ketegangan antara pemerintah Romawi dan umat Yahudi semakin memanas saat sang kaisar juga melarang perintah sunat yang dipandang sebagai sebentuk mutilasi bagi kaisar yang sebagai seorang penganut Helenis taat. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin Simon Bar Kokhba.
135 M; Pemberontakan berhasil dihancurkan pihak Romawi, akibatnya, umat Yahudi diusir dari Palestina, dilarangnya penggunaan hukum Taurat dan penanggalan Yahudi, dan menghukum mati ahli Yahudi. Kaisar Hadrianus membangun ulang kota Yerusalem sebagai sebuah kota Romawi bernama Aelia Capitolina dan umat Yahudi dilarang memasukinya.
Di sisi lain, agama Kristen mulai bangkit dan menyebar di tubuh Kekaisaran Romawi hingga pada akhirnya menjadi agama resmi negara. Kaisar Konstantinus I melakukan pengkristenan masyarakat Romawi dan mengunggulkannya atas pemujaan paganisme. Kuil Jupiter yang dibangun Kaisar Hadrianus di reruntuhan Bait Suci kedua dihancurkan segera setelah Konsili Nicea I atas perintah Konstantinus I.
363 M; Keponakan Konstantin, Kaisar Flavius Claudius Julianus memberikan izin kepada umat Yahudi membangun ulang Bait Suci mereka. Julianus sendiri memandang bahwa Tuhan umat Yahudi merupakan anggota yang sesuai untuk Dewa-Dewa Pantheon yang dia percaya, selain dia juga adalah penentang kuat Kristen. Sejarawan gereja menyatakan bahwa umat Yahudi mulai membersihkan puing-puing di Bukit Bait, tetapi gagal lantaran gempa bumi dan kemudian kemunculan api dari dalam bumi. Namun, bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa terdapat bangunan gereja, biara, atau bangunan umum lain yang berdiri di atas Bukit Bait pada masa kekuasaan Romawi Timur.
610 M; Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci.
615 M; Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.
637 M; Umat Islam mengambil alih kepemimpinan atas Yerusalem dari tangan Romawi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab setelah melewati empat bulan pengepungan yang diisi dengan berbagai pertempuran.
Setelah kondisi tidak kondusif, pasukan Romawi menawarkan penyerahan Yerusalem hanya kepada Umar bin Khattab. Hal itu menjadi tanda bahwa umat Islam telah menang dalam upaya penaklukan kota Yerusalem yang suci itu.
Sampainya Umar bin Khattab di Yerusalem, ia juga membuat perjanjian damai dengan penduduk Yerusalem. Perdamaian yang telah dibuat oleh Umar bin Khattab ini disetujui oleh petinggi Yerusalem dan juga penduduk Yerusalem. Umar bin Khattab juga memberikan jaminan keamanan penduduk kota itu.
691 M; Pada masa Kekhalifahan Umayah, mulai didirikan beberapa bangunan di tanah Masjidilaqsa, didirikan sebuah bangunan segi delapan berkubah yang menaungi Batu Fondasi oleh Khalifah Abdul Malik. Bangunan itu yang kemudian dikenal dengan Kubah Shakhrah (Dome of the rock), secara harfiah bermakna kubah batu.
1099 M; Kepemimpinan Yerusalem beralih ke tangan umat Kristen setelah kemenangan mereka pada Perang Salib Pertama. Umat Muslim berlindung di Masjidilaqsa, tetapi hal tersebut tidak menolong. Gesta Francorum menyatakan “(Orang-orang kita) membunuh dan menyembelih bahkan di Bait Salomo (Masjidilaqsa), pembantaian begitu besar sampai orang-orang kita mengarungi darah setinggi mata kaki.” Fulcher, pendeta yang turut serta dalam Perang Salib pertama, menyatakan, “Di Bait Suci 10.000 orang terbunuh. Tak satupun dari mereka dibiarkan hidup, baik wanita maupun anak-anak tidak diampuni.” Setelah peristiwa ini, Kerajaan Kristen Yerusalem didirikan. Jami’ Al-Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).
1187 M; Kepemimpinan Yerusalem beralih kembali ke tangan umat Islam setelah kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi. Semua jejak dan bekas peribadahan Kristen di Masjidilaqsa dihilangkan dan kompleks tersebut kembali kepada kegunaan asalnya. Kewenangan umat Islam terhadap Masjidilaqsa cenderung tanpa gangguan sampai periode Usmaniah.
1517 hingga 1917; Wilayah yang sekarang disebut Israel, bersama dengan sebagian besar Timur Tengah, dibawah kendali Kekaisaran Ottoman.
1917; Dibawah Kendali Inggris, pada paruh kedua abad ke-19, kerinduan lama orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali ke wilayah nenek moyang mereka memuncak dalam gerakan nasionalisme yang disebut Zionisme. Penyebab Zionis itu didorong oleh kebencian yang meningkat tajam terhadap orang-orang Yahudi di Eropa dan Rusia. Orang-orang Yahudi yang berimigrasi bertemu dengan penduduk yang didominasi orang Arab, yang juga menganggapnya sebagai tanah air leluhur mereka. Namun Perang Dunia I secara dramatis mengubah lanskap geopolitik di Timur Tengah.
Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengajukan letter of intent yang mendukung pendirian tanah air Yahudi di Palestina. Pemerintah Inggris berharap bahwa deklarasi formal, yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour, diharapkan mendorong dukungan bagi Sekutu dalam Perang Dunia I. Ketika Perang Dunia I berakhir pada 1918 dengan kemenangan Sekutu, kekuasaan Kekaisaran Ottoman selama 400 tahun berakhir. Alhasil, Inggris mengambil alih kendali atas wilayah yang dikenal sebagai Palestina (Israel modern, Palestina saat ini, dan Yordania). Negara Israel Para pemimpin Zionis berusaha keras meningkatkan jumlah Yahudi untuk memperkuat klaim kenegaraan, tetapi pada 1939 Inggris masih sangat membatasi imigrasi Yahudi. Pada akhirnya, proyek Zionis berhasil karena kengerian global dalam menanggapi Holocaust.
November 1947; Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 181 atau Rencana Pembagian Palestina, membagi tanah menjadi “Negara Arab dan Yahudi Merdeka”. Resolusi 181 itu langsung mendapat penolakan orang Arab.
14 Mei 1948; Para pemimpin Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Perang kemerdekaan dan Al-Nakba Negara Yahudi yang baru itu segera diserbu oleh tentara beberapa negara Arab, bersama militan Palestina. Dalam pertempuran itu Palestina telah kehilangan hampir empat perlima wilayah dari jatah PBB mereka. Tujuh ratus ribu dari warga Palestina telah diusir dari rumah mereka, tanpa hak untuk kembali hingga hari ini. Bagi orang Yahudi Israel, ini dikenal sebagai “Perang Kemerdekaan”. Bagi orang Palestina, itu adalah al-Nakba atau Bencana.
5 Juni 1967; Perang Enam Hari, pemerintah Israel mengambil alih kepemimpinan Kota Lama Yerusalem, termasuk di dalamnya Masjidilaqsa. Kepala Rabi dari Pasukan Pertahanan Israel, Shlomo Goren, memimpin pasukan melakukan perayaan keagamaan di Masjidilaqsa dan Tembok Barat dan mengeluarkan maklumat untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya “Yom Yerushalayim” (Hari Yerusalem). Beberapa hari setelah itu, 200.000 umat Yahudi berbondong-bondong mendatangi Tembok Barat dan ini adalah ziarah massal pertama umat Yahudi ke kompleks ini sejak tahun 70 M.
21 Agustus 1969, seorang Kristen ekstremis Australia, Dennis Michael Rohan, berusaha membakar Masjid Al-Aqsa. Tindakannya ini mendapat restu yang jelas dari pasukan pendudukan Israel. Saat itu, yakni pada hari Kamis pagi ketika alarm berbunyi tiba-tiba para penjaga Palestina di kompleks Aqsa melihat asap mengepul dari sayap tenggara masjid. Setelah diperiksa lebih dekat, mereka melihat kobaran api di dalam ruangan yang dipakai untuk shalat.
Maka umat Muslim dan Kristen Palestina kemudian sama-sama bergegas ke masjid untuk memadamkan api. Celakanya pasukan pendudukan Israel mencegah masuknya mereka. Tak ayak kemudian terjadi bentrokan singkat tapi sengit. Mereka pun segera berjalan ke tempat suci itu dan mulai mengatasi api.
Namun, ternyata untuk memadakam api di Masjidil Aqsha kala itu tak mudah. Alat pemadam kebakaran gagal tak berfungsi. Mereka pun mencari sumber air lain, tetapi hanya menemukan pompa rusak dan selang terputus. Maka umat Islam dan Nasrani yang bersatu lalu mengambil inisiatif. Mereka dengan cepat untuk membentuk rantai manusia dan menggunakan ember dan wadah kecil lainnya untuk membawa air ke masjid yang terbakar.
Uniknya, ketika truk pemadam kebakaran dari kota-kota sekitar Tepi Barat Nablus, Ramallah, Al-Bireh, Bethlehem, Hebron, Jenin, dan Tulkarem tiba, pasukan pendudukan Israel juga mencegah mereka mencapai tempat kejadian. Mereka mengklaim bahwa adalah tanggung jawab Kotamadya Yerusalem untuk menangani situasi kebakaran tersebut. Maka api kemudian dibiarkan menyala selama berjam-jam dan sempat jilatannya mencapai jendela yang tepat berada di bawah kubah Masjid al-Aqsha, sebelum api akhirnya padam.
Dan setelah asap itu hilang, tingkat kerusakannya baru dapat diketahui. Api ternyata telah menyapu beberapa bagian tertua masjid, terutama menghancurkan mimbar kayu dan gading berusia 900 tahun yang dihadiahkan oleh Salahuddin Al-Ayubi, serta panel mosaik di dinding dan langit-langit. Kala itu kemudian ditemukan banyak area di dalam masjid yang menghitam karena terbakar.
Ketika berita tentang ‘neraka api’ itu menyebar, maka memantik munculnya akis demonstrasi yang panas terjadi di seluruh kota. Kota Yerusalem yang diduduki Israel pun mogok, langkah ini kemudian dicontoh oleh warga Palestina yang tingga di Tepi Barat, dan bahkan di wilayah Israel.
Sebagai reaksi untuk mengatasi meluasnya aksi demonstrasi, semua titik akses ke masjid diblokir oleh pasukan keamanan Israel. Akibatnya, ibadah shalat Jum’at yang akan berlangsung keesokan harinya dilarang diadakan di kompleks. Ini sejarah pertama kali ketiadaan shalat Jumat di Masjidil Aqsha sejak masjid didirikan.
1974, 1977, dan 1983; kelompok yang dipimpin Yoel Lerner merancang makar untuk meledakkan Kubah Shakhrah dan Jami’ Al-Aqsha.
11 April 1982, seorang Yahudi bersembunyi di Kubah Shakhrah dan melepaskan tembakan, membunuh dua orang Palestina dan 44 terluka.
26 Januari 1984, penjaga menemukan anggota B’nei Yehuda mencoba menyusup ke dalam kawasan Masjidilaqsa dan meledakkannya.
8 Oktober 1990, pasukan Israel yang berpatroli di daerah tersebut memblokir jemaah untuk masuk ke Al-Aqsa. Gas air mata ditembakkan kepada jamaah wanita yang menyebabkan ketegangan meningkat.
12 Oktober 1990, umat Islam Palestina memprotes keras niat beberapa orang Yahudi untuk meletakkan batu penjuru di lokasi Kuil Baru sebagai awal penghancuran masjid-masjid Muslim. Upaya tersebut dihambat oleh pihak berwenang Israel, tetapi para pengunjuk rasa dilaporkan secara luas karena telah melempari batu kepada umat Yahudi di Tembk Barat. Menurut sejarawan Palestina Rasyid Khalidi, jurnalisme investigatif menunjukkan bahwa tuduhan ini salah. Batu-batu akhirnya dilempar sementara pasukan keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan 21 orang dan melukai 150 lainnya.
Desember 1997, Badan Keamanan Israel mendahului upaya ekstrimis Yahudi untuk melempar kepala babi yang terbungkus halaman Al Qur’an ke daerah tersebut untuk menyulut kerusuhan dan mempermalukan pemerintah.
15 November 1988; Dewan Nasional Palestina mengeluarkan deklarasi kemerdekaan, yang diakui sebulan kemudian oleh Majelis Umum PBB. Sekitar tiga perempat dari keanggotaan PBB sekarang menerima status negara Palestina, sebagai pengamat non-anggota.
1992-1994, Pemerintah Yordania melapisi kubah dari Kubah Shakhrah dengan 5.000 pelat emas. Mimbar Shalahuddin juga dipulihkan. Perbaikan ini diperintahkan Husain, Raja Yordania, dengan anggaran pribadi sebanyak $8 juta.
28 September 2000, Pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjidilaqsa bersama dengan utusan Partai Likud dan sejumlah polisi antihuru-hara Israel. Kunjungan itu dipandang sebagai isyarat provokatif bagi rakyat Palestina yang kemudian berkumpul di tempat tersebut. Unjuk rasa dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan ini menjadi pemicu terjadinya Intifadah Kedua. Keadaan kembali memanas saat tiga pria keturunan Arab melakukan tembakan terhadap dua polisi Israel pada Jumat.
29 September 2000, pemerintah Israel mengerahkan 2.000 polisi antihuru-hara ke masjid ini. Sekelompok orang Palestina yang meninggalkan masjid setelah salat Jumat mulai melempari polisi dengan batu. Polisi kemudian menyerbu kompleks masjid serta menembakkan baik peluru tajam maupun peluru karet kepada kelompok Palestina tersebut, sehingga jatuh korban empat orang tewas dan sekitar 200 orang lainnya luka-luka.
14 Juli 2017 sebagai reaksi atas peristiwa dimana dua polisi itu melakukan penutupan atas Masjidilaqsa dan melarang Muslim Palestina untuk salat di sana. Mufti Agung Yerusalem, Syekh Muhammad Ahmad Husain mengecam penutupan tersebut dan kemudian ditahan oleh polisi Israel setelah memimpin doa terbuka di dekat tempat kejadian perkara, meskipun kemudian dibebaskan dengan sejumlah jaminan.