Malam terakhir di Mesir kami dijamu makan malam di atas Sungai Nil, sungai terpanjang didunia. Sungai sepanjang 6.650 kilometer ini tak hanya melintasi Mesir, tapi juga Etiopia, Eritrea, Sudan, Uganda, Tanzania, Kenya, Rwanda, Burundi, Kongo, dan Sudan Selatan.
Sekitar jam 5 sore kami sudah siap di dermaga di tepian sungai Nil. Sebuah kapal pesiar besar berwarna kuning emas dengan nama yang keren “Andrea Manasterly” sudah merapat. Proses boarding cukup lancar dan melalui sebuah pintu gerbang yang antik, dengan hiasan pernak-pernik model Mesir kuno.
Interior maupun eksterior kapal pesiar yang akan membawa kita berlayar selama beberapa jam di Sungai Nil ini nampak sangat mewah. Warna kuning emas mendominasi . Hiasan dan ornamen seperti obelisk, sphinx, dan juga hewan-hewan mitologi seperti yang ada di kuil-kuil Mesir juga ikut meramaikan suasana. Kursi dan meja didominasi oleh warna merah dan kuning keemasan. Ruangan baik lantai bawah maupun lantai atas memiliki jendela besar dari kaca, sehingga memberikan pemandangan kota Kairo yang mempesona di senja dan malam pelayaran singkat hari ini.
Memasuki lantai bawah, di tengah ruangan, terdapat sebuah panggung dengan “life music” yang sedang memainkan lagu-lagu Mesir. Di lantai atas disediakan tempat duduk dengan setting yang sama tanpa hiburan.
Kapal pun mulai melepas jangkar dan berlayar perlahan di tengah sungai menuju arah selatan kota Kairo. Sementara makanan dan minuman mulai dihidangkan dan musik terus bermain dengan riang. Suasana meriah dan gembira yang ada di kapal membuat suasana hati setiap orang juga menjadi sama riang dan gembiranya.
Santap makan malam ala buffet dimulai, seperti biasa makan nya sekedar menggugurkan kewajiban, beda lidah Indonesia. Sambil makan kami dihibur oleh penyanyi bapak-bapak yang lumayan menghibur, kemudian sampailah pada acara tari perut, tarian khas timur tengah. Tour Guide kami sebelumnya sudah memberikan solusi, apabila ada yang merasa risi menonton tari perut dipersilakan naik ke deck lantai 2. Namun anehnya tidak ada yang berpindah semuanya terpesona dengan tarian khas mesir tersebut. Endingnya, ia berkeliling dari meja ke meja. Mengajak foto bersama untuk diambil oleh tukang foto yang kemudian menjualnya lima dollar AS.
Setiap kali membicarakan perjalanan ke negri-nergi Timur Tengah, maka Tari Perut selalu menjadi topik percakapan yang hangat dan penuh kontroversi. Bagi sebagian kita di Indonesia, kadang-kadang sangat sulit memahami mengapai di negara yang Islamnya begitu kuat, ternyata tari perut pun tetap eksis dan berkembang sampai saat ini. Tari perut menjadi hiburan wajib kalau kita berkelana di Afrika Utara dan Timur Tengah, dengan perkecualian Arab Saudi dan Iran tentunya. Dan tentu saja pelayaran di Sungai Nil juga identik dengan hiburan tari perut ini.
Konon tari perut memang sudah ada di daerah ini bahkan sebelum agama Islam. Dulunya, pada suku-suku Arab kuno, tarian ini dipertunjukan sebagai penghormatan kepada Dewi Kesuburan. Tentu saja tidak ada data tertulis kapan pastinya tari ini mulai dimainkan. Pada jaman dahulu, profesi penari perut merupakan salah satu profesi yang terhormat. Namun di Mesir kini, profesi ini kurang terpandang dan kebanyakan dilakoni oleh para pendatang.
Penari perut yang muncul di panggung setelah pertunjukan Sema usai ternyata penari yang usianya sudah setengah baya. Sepintas terlihat berusia di atas tigapuluhan. Namun postur tubuhnya memang tampak tetap tegap dan langsing, namun berisi. Mungkin karena setiap hari harus latihan gerakan-gerakan tertentu yang khas tari perut.
Mula-mula ia membawa semacam kain yang digunakan untuk menutup seluruh tubuh. Namun kain ini kemudian dilemparkan ke penonton sehingga kemudian tinggal pakaian yang cukup seksi sehingga memancing teriakan penonton.
Sekitar tiga puluh menit penari meliuk-liuk dan kadang-kadang menggoda penonton pria untuk diajak menari atau bahkan berfoto bersama penari. Keriangan terus berlangsung sampai malam mulai menggayut di Kota Kairo. Lampu-lampu gedung pencakar langit, dan juga jalan-alan di sekitar sungai Nil menghiasi kota Kairo dan kapal pun perlahan-lahan mulai merapat lagi ke dermaga. Suatu senja dan malam yang berkesan dan tidak terlupakan dalam lawatan di ibu kota Mesir ini.
Pembawa acara kemudian mengumumkan bahwa pertunjukan ‘Whirling Dervish” , yaitu tarian berputar Sufi akan segera dimulai. Whirling Dervish adalah sebuah tarian yang berasal dari Turki dan disebut “Sema”. Pada mulanya tarian yang dilakukan sambil terus berputar dan berdzikir ini lebih merupakan upacara ritual keagamaan. Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya, Turki pada 17 Desember 1273 merupakan tokoh dan maestro utama kaum sufi. Aliran sufi kemudian berkembang tidak saja di Turki, tapi juga ke negara-negara di sekitarnya seperti Iran, Pakistan, dan tentu saja Mesir.
Penari Sema disebut Semazen dan pada upacara yang asli dilakukan dalam sebuah kelompok, mereka terus berputar dengan arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam sambil berdzikir dan juga berputar melintasi halka atau lingkaran bagaikan planet mengitari matahari. Konon dengan cara berputar terus para penari bisa bersatu dengan Sang Pencipta.
Biasanya pakaian yang dipakai semazen berwarna putih, namun pada pertunjukan di atas kapal ini pakaian yang dipakai berwarna-warni yang merupakan gabungan merah, putih, biru, kuning, dan hijau. Bagian bawah pakaian sangat lebar sehingga terlihat seperti rok dan pada saat memutar bisa membentuk konfigurasi yang cantik. Uniknya lagi, pakaian bagian bawah ini ternyata berbentuk lingkaran yang kemudian bisa dilepas dan juga diputar-putar membentuk semacam “Frisbee” atau bahkan piring terbang. Mungkin improvisasi gerakan-gerakan ini lebih diutamakan unsur hiburan dan pertunjukan panggung dibandingkan dengan gerakan aslinya yang bertujuan ritual.
Sambil berputar semazen juga memegang berberapa buah rebana yang terus dimainkan seperti pesulap ataupun pertunjukan dalam akrobat. Dibutuhkan Keterampilan dan latihan yang sangat baik untuk mencapai tingkat keseimbangan tubuh seperti ini. Benar-benar sebuah pertunjukan yang menghibur dan juga memberikan nuansa lain dari arti sebuah perjalanan.
Dari kami diberi kesempatan, lalu tampil Pak Dokter Dwi untuk memakai kostum sema dan kemudian diajarkan berputar untuk memainkan tarian “Whirling Dervish” ini. Namun tentu saja gerakannya sangat lucu dan memberikan suatu hiburan tersendiri dari pertunjukan di atas sungai Nil ini.
Malam itu sungguh mengesankan, setelah selesai cruise bolak balik, kapal merapat kedermaga, kami turun dan bergegas menuju bus untuk meneruskan perjalanan ke Bandara Internasional Kairo.
Selamat tinggal, Sungai Nil. Di sini, bayi Musa dipungut keluarga Firaun dari ancaman pembunuhan. Di sini pula kami menikmati seni budaya khas Mesir yang terjaga bertahun-tahun.