Mesir – Sphinx Agung Giza

Sphinx Agung Giza adalah sebuah patung batu kapur berbentuk spinks yang berbaring. Sphinx sendiri adalah makhluk mitologis berkepala manusia, dan bertubuh singa. Patung ini menghadap lurus dari barat ke timur, dan terletak di Dataran Tinggi Giza di tepi barat Sungai Nil di Giza, Mesir. Wajah Sphinx ini dinggap mewakili firaun Khafre.

Bentuk asli Sphinx adalah hasil pemotongan dari batuan dasar, dan sejak saat itu telah dipulihkan dengan lapisan blok batu kapur. Sphinx ini memiliki panjang 73 meter dari kaki depan ke ekor, tinggi 20 meter dari pangkal badan ke pucuk kepala dan lebar 19 m (62 kaki) di bagian paha belakangnya. Hidungnya patah karena alasan yang tidak diketahui antara abad ke-3 dan ke-10 Masehi.

Sphinx adalah patung monumental tertua yang diketahui di Mesir dan salah satu patung yang paling terkenal di dunia. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa patung ini dibuat oleh orang Mesir kuno dari Kerajaan Lama selama masa pemerintahan Khafre (sekitar 2558-2532 SM).

Selain dalam mitologi Mesir, Sphinx juga ada dalam mitologi Yunani dan digambarkan sebagai wanita bersayap burung dengan paha singa. Berbeda dari patung Sphinx Mesir yang selalu tampil sebagai sosok pria berkekuatan dahsyat.

Patung Sphinx yang berkekuatan besar biasa dianggap sebagai penjaga yang kerap mengapit pintu masuk ke kuil. Sphinx Agung Giza menjadi patung Sphinx paling terkenal dan terbesar yang berada di Dataran Tinggi Giza.

Sphinx Agung menjadi patung paling awal, terbesar, dan terpopuler di seluruh dunia. Terletak di Giza, ia disebut berasal dari masa pemerintahan Raja Khafre atau raja dinasti ke-4 yang berkuasa antara 2575 dan 2465 SM. Sphinx yang ada di tenggara piramida berbatasan dengan Piramida Agung Giza di tepi barat Sungai Nil menghadap timur.

Sphinx kali pertama muncul di Yunani kurang lebih 1.600 SM dan tampil menggunakan topi datar dengan proyeksi layaknya flamel di atasnya.

Penggambaran Sphinx lenyap dari seni Yunani selama kurang lebih 400 tahunan, tepatnya setelah 1.200 SM. Akan tetapi, penggambaran lantas berlanjut di Asia.

Bentuk serta posenya hampir sama dengan zaman perunggu. Sampai akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-6, Sphinx muncul lagi dalam seni Yunani.

Bahkan kita bisa melihat monumen tersebut dengan mudah contohnya di film-film Hollywood yang banyak mengambil latar bahkan berkaitan ceritanya dengan Piramida ini, dalam kompleks Piramida Giza terdapat patung yang tidak kalah ikoniknya dengan Piramida Giza itu sendiri yaitu Sphinx agung giza, Kata Sphinx sendiri kemungkinan mulai digunakan sekitar 2000 tahun lalu dan patung tersebut merujuk pada Ruti dewa singa yang duduk di pintu masuk dunia bawah dan menjaga cakrawala tempat matahari terbit dan terbenam. Patung ini merupakan salah satu monumen yang sangat terkenal di mesir bahkan di dunia.

Sphinx adalah makhluk yang berwujud singa bersayap elang dengan kepala manusia dan dipercaya sebagai makhluk penjaga makam. pasti banyak masyarakat umum yang mengetahui bahwa hidung sphinx itu tidak ada atau hilang.

Dibalik kegagahan dari patung sphinx, tidak ada yang tahu pasti bagaimana hilangnya bagian hidung dari patung ini yang pasti hal tersebut membuat banyak orang bertanya-tanya tentang kapan, bagaimana, dan siapa yang menghilangkan hidung sphinx ini, sehingga banyak teori yang muncul dari ahli bahkan masyarakat umum yang sangat menarik untuk dibahas. Salah satu teori tentang hilangnya hidung Sphinx menerangkan bahwa hilangnya hidung sphinx ini dikarenakan oleh Napoleon Bonaparte yang saat itu memerintahkan pasukannya untuk menembakkan meriamnya ke arah patung sphinx saat Prancis melakukan pertempuran di Mesir pada tahun 1798, cerita menjadi mitos yang sangat terkenal pada saat itu. Cerita tentang penaklukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte ini cukup terkenal di seluruh dunia, Tetapi tidak ada bukti bahwa Napoleon Bonaparte adalah orang yang bertanggung jawab dalam kasus ini karena tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Napoleon berkata atau memerintahkan hal tersebut.

Mesir – Piramid Agung Giza

Piramid Agung Giza adalah piramid tertua dan terbesar dari tiga piramida yang ada di Nekropolis Giza dan merupakan satu-satunya bangunan yang masih menjadi bagian dari Tujuh Keajaiban Dunia. Dipercaya bahwa piramida ini dibangun sebagai makam untuk firaun dinasti keempat Mesir, Khufu (Χεωψ, Cheops) dan dibangun selama lebih dari 20 tahun dan diperkirakan berlangsung pada sekitar tahun 2560 SM. Piramida ini dulu disebut sebagai Piramida Khufu.

Piramida Agung Giza adalah bagian utama dari kompleks bangunan makam yang terdiri dari dua kuil untuk menghormati Khufu (satu dekat dengan piramida dan satunya lagi di dekat Sungail Nil), tiga piramida yang lebih kecil untuk istri Khufu, dan sebuah piramida “satelit” yang lebih kecil lagi, berupa lintasan yang ditinggikan, dan makam-makam mastaba berukuran kecil di sekeliling piramida para bangsawan. Salah satu dari piramida-piramida kecil itu menyimpan makan ratu Hetepheres (ditemukan pada tahun 1925), adik, dan istri Sneferu serta ibu dari Khufu. Juga ditemukan sebuah kota, termasuk sebuah pemakaman, toko-toko roti, pabrik bir, dan sebuah kompleks peleburan tembaga. Lebih banyak lagi bangunan dan kompleks ditemukan oleh Proyek Pemetaan Giza.

Beberapa ratus meter di barat daya Piramida Agung terdapat sebuah piramida yang sedikit lebih kecil, Piramida Khafre, salah satu penerus Khufu yang juga dianggap sebagai pembangun Sphinx Agung, dan beberapa meter lebih jauh ke barat daya adalah Piramida Menkaure, penerus Khafre, yang ketinggian piramidanya sekitar separuhnya.

Perkiraan waktu penyelesaian Piramida ini disepakati sekitar tahun 2560 BC. Wazir Khufu, Hemon, atau Hemiunu, dipercaya sebagai arsitek dari Piramida Agung.

Mesir – Makam Imam Syafi’i

Imam Syafi’i adalah salah satu imam mahzab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Fustat, Kekhalifahan Abbasiyah, Denominasi Sunni, Mazhab Mujtahid, Minat utama Fiqih, Hadis, Ide terkenal mazhab Syāfi‘ī, Karya terkenal Ar-Risalah, Kitab al-Umm, Musnad asy-Syafi’i.

Dia adalah murid Imam hadis awal yang paling menonjol, Malik bin Anas. Asy-Syāfi’ī juga pernah menjabat sebagai Gubernur Najar. Asy-Syāfi’ī lahir di Palestina (Jund Filastin), dan kemudian tinggal di Makkah dan Madinah di Hijaz, kemudian ia beralih ke Yaman, Mesir, dan Baghdad.

Asy-Syāfiʿī termasuk dalam klan Quraisy dari Bani Muthalib, yang merupakan saudara dari klan Bani Hasyim, klan nabi Islam Muhammad dan leluhur para khalifah Abbasiyah. Garis keturunan ini mungkin telah memberinya prestise, yang muncul dari suku Muhammad, dan kekerabatan kakek buyut Muhammad dengannya. Namun, asy-Syāfiʿī tumbuh dalam kemiskinan, terlepas dari posisi sosial keluarganya yang tinggi.

Asy-Syāfiʿī lahir di Palestina di kota Asqalan pada tahun 767 M. Ayahnya meninggal di Asy-Syam ketika dia masih kecil. Khawatir akan kehilangan garis keturunan syarīf-nya, ibunya memutuskan untuk pindah ke Makkah ketika dia berusia sekitar dua tahun. Selain itu, akar keluarga keibuannya berasal dari Yaman, dan ada lebih banyak anggota keluarganya di Mekkah, di mana ibunya percaya bahwa dia sebaiknya diasuh. Sedikit yang diketahui tentang kehidupan awal asy-Syāfiʿī di Makkah, kecuali bahwa ia dibesarkan dalam keadaan miskin dan sejak masa mudanya ia rajin belajar.

Ia belajar di bawah bimbingan Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah saat itu, yang dianggap sebagai guru pertama asy-Syāfiʿī. Pada usia tujuh tahun, asy-Syāfiʿī telah menghafal Al-Qur’an. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menghafal Muwaṭṭaʾ karya Malik bin Anas di luar kepala, yang membuat az-Zanji akan menunjuknya untuk mengajar saat dirinya tidak ada atau berhalangan. Asy-Syāfiʿī telah diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa pada usia lima belas tahun.

Asy-Syāfiʿī pindah ke Madinah untuk melanjutkan studi hukum Islamnya. Ada perbedaan terhadap pada usia berapa dia berangkat ke Madinah; sebuah riwayat menyatakan bahwa usianya pada saat itu tiga belas tahun, sementara yang lain menyatakan bahwa dia berusia dua puluhan. Di sana, dia diajari selama bertahun-tahun oleh Imam terkenal Mālik bin Anas, yang terkesan dengan ingatan, pengetahuan, dan kecerdasannya. Menjelang kematian Mālik pada tahun 795 M, asy-Syāfiʿī telah memperoleh reputasi sebagai seorang ahli hukum yang brilian.

Pada usia tiga puluh tahun, asy-Syāfiʿī diangkat sebagai gubernur Abbasiyah di kota Yaman Najran. Dia terbukti sebagai administrator yang adil tetapi segera terjerat dengan kecemburuan faksi. Pada 803 M, asy-Syāfiʿī dituduh membantu Banu Ali dalam pemberontakan, dan dengan demikian dipanggil dengan dirantai bersama sejumlah Banu Ali ke hadapan khalifah Harun ar-Rasyid (m. 786–809) di ar-Raqqah. Sementara para komplotan lainnya dihukum mati, pembelaan asy-Syāfiʿī sendiri yang fasih meyakinkan Khalifah untuk menolak tuduhan itu.

Riwayat lain menyatakan bahwa ahli hukum Hanafi terkenal, Muḥammad bin al-Ḥasan asy-Syaibānī, hadir di pengadilan dan membela asy-Syāfiʿī sebagai tokoh fikih terkenal. Kelak, peristiwa itu membuat asy-Syāfiʿī semakin dekat dengan asy-Syaibānī, yang kemudian akan menjadi guru asy-Syāfiʿī. Juga didalilkan bahwa kejadian ini mendorongnya untuk mengabdikan sisa karirnya pada studi hukum, dan tidak pernah lagi melayani pemerintah.

Asy-Syāfiʿī pergi ke Baghdad untuk belajar dengan asy-Syaibānī dan lainnya. Di sinilah dia mengembangkan mazhab pertamanya, dipengaruhi oleh ajaran Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Karyanya kemudian dikenal sebagai al-Mażhab al-Qadim lil Imam asy-Syāfiʿī, atau Mazhab Lama asy-Syāfiʿī.

Di sinilah asy-Syāfiʿī secara aktif berpartisipasi dalam argumen hukum dengan para ahli hukum Hanafi, dengan gigih membela mazhab Mālikī. Beberapa otoritas menyatakan bahwaa sy-Syāfiʿī terkadang kesulitan dalam mempertahankan argumennya. Asy-Syāfiʿī akhirnya meninggalkan Baghdad menuju Makkah pada tahun 804 M, kemungkinan karena keluhan dari pengikut Hanafi kepada asy-Syaibānī bahwa asy-Syāfiʿī telah menjadi agak kritis terhadap posisi asy-Syaibānī selama perselisihan mereka. Akibatnya, asy-Syāfiʿī dilaporkan telah berdebat dengan asy-Syaibānī mengenai perbedaan mereka, meski siapa yang memenangkan debat masih belum diketahui secara pasti.

Di Makkah, asy-Syāfiʿī mulai berceramah di Masjidilharam, yang meninggalkan kesan mendalam bagi banyak murid-murid yang mempelajari fikih, termasuk ahli hukum Hanbali yang terkenal, Ahmad bin Hanbal. Penalaran hukum asy-Syāfiʿī mulai matang, ketika ia mulai menghargai kekuatan penalaran hukum para ahli hukum Hanafi, dan menyadari kelemahan yang melekat baik pada mazhab Mālikī maupun Hanafi.

Asy-Syāfiʿī akhirnya kembali ke Baghdad pada tahun 810 M. Pada saat ini, statusnya sebagai seorang ahli hukum telah cukup berkembang untuk memungkinkannya membangun garis spekulasi hukum yang independen. Khalifah al-Ma’mun (813–833) dikatakan telah menawarkan posisi asy-Syāfiʿī sebagai hakim, tetapi dia menolak tawaran tersebut.

Pada 814 M, asy-Syāfiʿī memutuskan untuk meninggalkan Baghdad menuju Mesir. Tetapi di Mesir dia akan bertemu guru lain, Sayyidah Nafisah binti Hasan, yang juga akan membiayai studinya. Beberapa murid utamanya akan menuliskan apa yang dikatakan asy-Syāfiʿī, yang kemudian akan meminta mereka untuk membacanya kembali dengan suara keras sehingga dapat dilakukan koreksi. Semua penulis biografi asy-Syāfiʿī setuju bahwa warisan karya-karya atas namanya adalah hasil dari setiap sesi pelajaran dengan murid-muridnya.

Nafisah adalah keturunan dari Muhammad, melalui cucunya Hasan bin Ali, yang menikah dengan keturunan Muhammad lainnya, yaitu Ishaq al-Mu’tamin, putra Ja’far ash-Shadiq, yang kabarnya juga merupakan guru dari Malik bin Anas. and Abu Hanifah. Jadi keempat Imam besar Fiqh Sunni (Abu Hanifah, Malik, asy-Syāfiʿī, dan Ibnu Hanbal) sama-sama terhubung dengan Ja’far dari keluarga Muhammad, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setidaknya satu otoritas meriwayatkan bahwa asy-Syāfiʿī meninggal akibat luka yang diderita akibat serangan oleh pendukung pengikut Maliki yang bernama Fityan. Cerita berlanjut bahwa asy-Syāfiʿī memenangkan perdebatan dan Fityan yang tidak terima, kemudian melakukan pelecehan. Gubernur Mesir pada masa itu, yang memiliki hubungan baik dengan asy-Syāfiʿī, memerintahkan agar Fityan dihukum dengan diarak melalui jalan-jalan kota dengan membawa papan dan menyebutkan alasan hukumannya. Pendukung Fityan sangat marah dengan perlakuan ini dan menyerang asy-Syāfiʿī sebagai pembalasan setelah asy-Syāfiʿī selesai berceramah. Asy-Syāfiʿī meninggal beberapa hari kemudian. Namun, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam biografinya tentang asy-Syāfiʿī, Tawālī al-Ta’sīs, meragukan cerita ini dengan mengatakan “Saya tidak mempertimbangkan cerita ini sebagai sumber yang dapat dipercaya”. Namun, asy-Syāfiʿī juga diketahui menderita penyakit usus serius/wasir, yang membuatnya menjadi lemah dan sakit selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Dengan demikian, penyebab pasti kematian asy-Syāfiʿī tidak diketahui.

Asy-Syāfiʿī meninggal pada usia 54 tahun pada tanggal 20 Januari 820 M, di Fustat, Mesir, dan dimakamkan di kubah Bani Abdul Hakam, dekat Gunung al-Muqattam. Sebuah qubbah dan makam dibangun pada tahun 1212 M oleh Sultan Ayyubiyah, al-Kamil (1218–1238), dan tetap menjadi situs penting saat ini Salahuddin al-Ayyubi membangun madrasah dan tempat suci di lokasi makam Asy-Syafi’i. Saudara laki-laki Salahuddin, Afdal, membangun mausoleum untuknya pada tahun 1211 setelah kekalahan Fatimiyah.

Sarjana John Burton memuji asy-Syafi’i yang tidak hanya karena membangun ilmu fikih dalam Islam, namun juga pentingnya ilmu tersebut bagi agama. Dia berkata, “Ketika orang-orang sezamannya dan para pendahulunya mendefinisikan Islam sebagai sebuah fenomena sosial dan sejarah, Syafi’i berusaha untuk mendefinisikan sebuah Hukum yang diwahyukan.” Asy-Syāfi‘ī menekankan otoritas akhir dari sebuah hadis dari Muhammad sehingga bahkan Al-Qur’an pun “harus ditafsirkan berdasarkan tradisi (yaitu hadis), dan bukan sebaliknya.” Meskipun secara tradisional Al-Qur’an dianggap berada di atas Sunnah dalam otoritasnya, Asy-Syafi’i “dengan tegas menyatakan” bahwa sunah berdiri “sejajar dengan Al-Qur’an”, (menurut sarjana Daniel Brown) karena – seperti yang dikatakan Al-Syafi’i itu – “perintah Nabi (Muhammad) adalah perintah Allah.”

Fokus komunitas Muslim pada hadis Muhammad dan ketidaktertarikan terhadap hadis para sahabat Muhammad (yang hadisnya umum digunakan sebelum asy-Syāfi‘ī karena sebagian besar dari mereka masih hidup dan menyebarkan ajarannya setelah kematiannya) dipikirkan untuk mencerminkan keberhasilan doktrin asy-Syāfi‘ī.

Pengaruh asy-Syāfi‘ī sedemikian rupa sehingga ia mengubah penggunaan istilah Sunnah, “sampai yang dimaksud hanyalah Sunnah Nabi.” Menurut John Burton, hal ini adalah “pencapaian prinsipnya”). Padahal sebelumnya, sunnah digunakan untuk menyebut tata krama dan adat istiadat suku. Asy-Syāfi’ī membedakan antara “sunnah umat Islam” yang tidak otoritatif dan diikuti dalam praktik keagamaan, dengan “sunah Nabi” yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam. Dengan demikian, definisi sunnah menurut asy-Syāfi’ī hanya mencakup sunnah dari nabi Islam Muhammad saja.

Asy-Syāfi‘ī adalah bagian dari para teolog tradisionalis awal yang sangat menentang Mu’tazilah dan mengkritik para teolog spekulatif karena meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah melalui adopsi mereka terhadap Filsafat Yunani dalam Metafisika.

Asy-Syāfi’ī menulis lebih dari 100 buku. Namun kebanyakan dari mereka belum sampai kepada kita. Karya-karyanya yang masih ada dan dapat diakses saat ini adalah:

  1. Ar-Risalah – Buku paling terkenal karya asy-Syāfi’ī yang di dalamnya ia mengkaji prinsip-prinsip yurisprudensi.
  2. Kitab al-Umm – teks utamanya yang masih ada tentang mazhab Syafi’i.
  3. Musnad asy-Syafi’i – kajian hadis oleh asy-Syāfi’ī.
  4. Ikhtilaf al-Hadis.
  5. As-Sunan al-Ma’tsur.
  6. Jama’ al-Ilm.

Selain itu, asy-Syafi’i adalah seorang penyair yang fasih, yang banyak menggubah puisi pendek yang ditujukan untuk membahas moral dan perilaku. Yang paling terkenal adalah syair al-Diwan miliknya.

Ahmad bin Hanbal menganggap asy-Syafi’i sebagai “Imam yang paling setia pada tradisi” yang memimpin Ahlul Hadis menuju kemenangan melawan eksponen Ahlur Ra’yi. Ibnu Hanbal juga menyatakan bahwa “Tidak pernah ada orang penting dalam ilmu pengetahuan yang tidak banyak melakukan kesalahan, dan lebih mengikuti sunnah Nabi daripada asy-Syafi’i.”

Shah Waliullah Dehlawi, ulama Sunni abad ke-18 menyatakan: “Seorang Mujaddid muncul di akhir setiap abad: Mujaddid abad ke-1 adalah Imam Ahlul Sunnah, Umar bin Abdul Aziz. Mujaddid abad ke-2 adalah asy-Syafi’i Mujaddid abad ke-3 adalah Imam Ahlul Sunnah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Mujaddid abad Abad ke-4 adalah Hakim an-Naisaburi.

Mesir – Masjid Al Azhar Cairo

Nama Al-Azhar As-Syarif bukan lah nama asing yang jarang di dengar. Nama ini adalah sebuah tempat yang banyak dijadikan sebuah harapan oleh beberapa santri untuk menimba ilmu disana. Manhaj Al-Azhar yang wasathi dan peran alumninya yang sudah terbukti menjadi patokan sebagian banyak santri di pondok pesantren untuk bisa pergi ke Mesir dan melanjutkan jenjang studi selanjutnya disana.

Al-Azhar As-Syarif sendiri didirikan oleh seorang arsitek handal bernama Jauhar As-Saqli. Nama Aslinya adalah Abu Husein Jauhar bin Abdillah, seorang pemuda cerdas dari kota Shoqli atau Sicily, Italia. Dimasa Dinasti Fathimiyyah ia dipercaya untuk membangun Kota Kairo, dan mendirikan Masjid Al-Azhar didalamnya. Nama As-Saqli diambil dari kota tempat lahirnya Shoqli atau Sicily. Beliau lahir pada tahun 928 M, dan wafat di Kairo pada tahun 992 M.

Masjid Al-Azhar mulai didirikan pada tanggal 25 Juli 970 M. Pembangunanya memakan waktu dua tahun, dan pertama kali dipakai pada hari Jum’at 26 Juni 972 M. Saat itu Khalifah Muiz Liddinillah Al-Fathimi mengadakan uji coba pemakaian Masjid Al-Azhar sebelum ia resmikan. Masyarakat mesir saat itu sangat gembira dengan didirikannya Masjid baru bernama Al-Azhar, masjid ketiga yang didirikan di Mesir setelah Masjid Amr bin Ash dan Masjid Ibnu Thulun. Setelah dirasa layak digunakan, akhirnya Khalifah Muiz liddinillah Al-Fathimi meresmikan Masjid tersebut pada Idul Fitri di tahun yang sama, dan menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai Masjid baru untuk ibu kota baru, yaitu Kairo. Setelah diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Khalifah Mu’iz liddinillah, Masjid Al-Azhar setiap harinya sangat ramai dikunjungi masyarakat sekitar untuk melaksanakan sholat lima waktu. Selain untuk beribadah, saat itu juga Khalifah membuka Maidah gratis untuk siapa saja yang datang, dan dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan oleh sang Khalifah.

Nama Al-Azhar kemudian dibicarakan banyak orang saat itu, dan menjadi daya tarik baru bagi yang tinggal di luar Kairo untuk datang dan mengunjungi salah satu Masjid peradaban tersebut. Adapun penamaan masjid ini dengan Al-Azhar sendiri merujuk kepada putri Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Fathimatuzzahra. Pada dinasti Fathimiyyah saat itu, nama yang merujuk kepada ibunda Sayyid Imam Husein tersebut sangat banyak sekali. Contohnya benteng Zahirah dan taman kota yang bernama Zahirah juga. Jadi nama Al-Azhar sendiri sangat mudah diterima, bukan sesuatu yang baru dan tentunya tidak ada penolakan dari siapapun.

Selain untuk menjadi pusat ibadah, Tujuan utama didirikannya Masjid Al-Azhar oleh Khalifah Mu’iz Liddinillah adalah untuk menyebarkan Faham Syi’ah, yang dimana faham itu diajarkan di halaqah-halaqah ilmu yang ada didalam Masjid Al-Azhar saat itu. Halaqah ini resmi dibuka  pada bulan Oktober 975 M yang dipelopori oleh Abu al-Hasan bin Nu’man Al-Maghribi. Metode yang diajarkan pada saat itu adalah metode yang juga sekarang masih diterapkan di Ruwaq-ruwaq yang ada di Masjid Al-Azhar. Yaitu seorang syaikh atau guru duduk didepan murid-muridnya, dan para murid mendengarkan, memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan syaikh/ guru.

Kegiatan belajar mengajar untuk umum ternyata berjalan hanya 13 tahun saja. Pada tahun 988 M seluruh kegiatan belajar di Masjid Al-Azhar diambil alih oleh khalifah pada saat itu, dan mandat kepengurusanya diberikan kepada seseorang kepercayaan khalifah yang bernama Ya’qub bin Yusuf Kilsi. Ya’qub adalah seorang yang sangat setia pada Dinasti Fathimiyyah. Ia lahir di Baghdad di lingkungan orang tuanya yang memeluk ajaran Yahudi cukup kental. Pada tahun 966 M Ya’qub membai’at dirinya untuk memeluk islam dan setia pada pendirian Dinasti Fathimiyyah. Kesetiaan Ya’qub ini sangat tampak dan beberapa kali menjadi kepercayaan Khalifah Mu’iz liddinillah. Sampai-sampai iya mendapat julukan khusus dari sang khalifah dengan julukan “Wazir” yang berarti menteri. Di masa kepengurusanya, Ya’qub membatasi masyarakat yang ingin belajar di Masjid Al-Azhar. Dia kemudian menyeleksi beberapa orang saja, dan memilih 37 dari pendaftar yang sudah mengajukan diri. Pelajar yang sudah terpilih berhak belajar di Masjid Al-Azhar dengan guru-guru yang sudah disediakan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga memberi beasiswa berupa uang simpanan, makan setiap hari dan tempat tidur untuk 37 pelajarnya yang dibangun di sekitar Masjid Al-Azhar. Pada saat itu juga nama Al-Azhar sangat terkenal dengan  pengakaderan Madzhab Syi’ahnya yang serius di lingkungan Masjid Al-Azhar.

Madzhab Syi’ah yang dianut Dinasti Fathimiyyah dan diajarkan di Masjid Al-Azhar bertahan selama 189 tahun. Shalahuddin Al-Ayyubi yang saat itu mempunyai banyak pengikut, mencoba untuk membuat dinasti baru bernama Ayyubiyyah. Mesir, Syam, Hijaz, Tihamah, Yaman dan beberapa negara lainya ia gandeng untuk membuat sebuah kesatuan dan persatuan. Sebuah Dinasti yang bermadzhabkan Sunni Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebelum mendeklarasikan diri sebagai dinasti baru, Langkah pertama yang dilakukan Dinasti Al-Ayyubiyyah adalah menutup seluruh bangunan dan tempat peribadatan yang didirikan oleh dinasti Fathimiyyah, termasuk didalamnya Masjid Al-Azhar Asy-Syarif.

Pada tahun 1171 M akhirnya Masjid Al-Azhar menjadi salah satu bangunan yang ditutup dan benar-benar tidak diaminkan fungsinya oleh Dinasti Ayyubiyyah. Semua kegiatan di Masjid ini juga diberhentikan. Seperti kegiatan belajar mengajar, perayaan hari besar, sholat jum’at hingga sholat lima waktu. Untuk mengganti peran Masjid Al-Azhar, Dinasti Ayyubiyyah membangun sebuah masjid yang tidak kalah besar dari Masjid Al-Azhar, bernama Masjid Al-Hakim bin Amrillah. Selain menutup beberapa tempat, Dinasti Ayyubiyyah juga menghancurkan beberapa benteng dan istana milik Dinasti Fathimiyyah yang kemudian menggantinya dengan benteng dan istana yang baru resmi dibawah nauangan Dinasti Ayyubiyyah. Hal ini ia lakukan demi menghentikan seluruh faham Syi’ah yang sudah mengakar di Masyarakat Mesir.

Untuk mengedukasi faham sunni Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dinasti Ayyubiyyah juga mempunyai beberapa program berupa mendirikan beberapa Madrasah di sekitar Masjid Al-Azhar. Madrasah-madrasah ini dibuka untuk umum menggantikan peran Masjid Al-Azhar yang ditutup total. Selain ingin menghentikan penyebaran faham Syi’ah di Mesir, penutupan Masjid Al-Azhar juga didukung oleh Fatwa salah satu Hakim bermadzhab Syafi’i bernama Shadruddin Abu Qasim bin Dirbas As-Syafi’i. Fatwa beliau berupa larangan adanya beberapa sholat jum’at, sholat idul fitri dan sholat idul adha didalam satu Kota. Jadi menurut fatwa tersebut, sholat Jum’at dipusatkan di Masjid yang baru dibangun Dinasti Ayyubiyyah saja, yaitu Masjid Hakim bi Amrillah. Adapun dua masjid besar lainya yaitu Masjid Amru bin ‘Ash dan Masjid Ibnu Thulun tidak masuk kawasan Kota Kairo, melainkan Kota Fustath. Penutupan Masjid Al-Azhar dan memindahkan kegiatanya ke Masjid Al-Hakim bi Amrillah berlangsung hingga 100 tahun lamanya, yang kemudian Masjid Al-Azhar dibuka kembali dan menjadi pusat ibadah dan pembelajaran madzhab Sunni Ahlussunnah wal Jama’ah.

Setelah 100 tahun ditutup, akhirnya Masjid Al-Azhar dibuka kembali. Saat itu kekuasaan sudah berpindah ke Dinasti Mamluk yang dipimpin oleh Pangeran Zahir Bairbars. Adapun utusan pangeran yang diperintah untuk membuka kembali Masjid Al-Azhar bernama ‘Izzuddin Al-Hilli As-Solihi, seseorang yang memiliki postur tubuh yang sangat besar keturunan keluarga kerajaan Zahir Bairbas, penguasan Kota Kairo dan terkenal dengan hartanya yang melimpah.

Pangeran Izzudin Al-Hilli As-Solihi ternyata sangat serius ingin merenovasi Masjid Al-Azhar dan membangun Kota Kairo. Ia pun menghadap Penguasa tertingginya Zahir Bibars untuk menyampaikan niatnya. Zahir Baibars pun senang dengan rencana ‘Izzudin dan memberi dana tambahan untuk pembangunan dan proses renovasi. Langkah awal yang dilakukan Pangeran Izzudin adalah merenovasi Masjid Al-Azhar, membuat Mimbar Khutbah, Membangun beberapa madrasah baru dan mendirikan rumah bagi dia dan keluarganya di samping Masjid Al-Azhar. Setelah selesai proses pemugaran, akhirnya masjid Al-Azhar kembali resmi digunakan dengan sholat jum’at sebagai tanda peresmianya. Dan saat itu Pangeran ‘Izzuddin Al-Hilli As-Sholihi lah menjadi khatib pertama setelah 100 tahun Al-Azhar ditutup dan diberhentikan fungsinya. Madrasah yang ia bangun pun ramai, pengajian di Masjid Al-Azhar juga tidak kalah ramai dikunjungi pelajar dan masyarakat yang sedang haus ilmu. Semenjak itu juga Al-Azhar terkenal sebagai kiblat ilmu hingga sekarang.

Dikutip dari tulisan Muhammad Fachry Fanani, Lc (Wakil Ketua PC GP Ansor Mesir 2021)

Mesir – Masjid Al Husain Bin Ali

Masjid Imam Hussein adalah sebuah masjid dan makam Husain bin Ali, awalnya dibangun pada 1154, dan kemudian dibangun kembali pada 1874. Masjid ini terletak di Kairo, Mesir, dekat pasar Khan El-Khalili, dekat Masjid Al Azhar yang terkenal, di daerah yang dikenal sebagai Al-Hussain.

Situs ini dianggap sebagai salah satu situs Islam paling suci di Mesir. Beberapa Muslim Syiah percaya bahwa kepala Husain dimakamkan di tanah masjid di mana sebuah makam berada hari ini dan dianggap sebagai apa yang tersisa dari arsitektur Fatimiyah di dalam bangunan.

Masjid Al-Husain merupakan salah satu arsitektur bersejarah religi yang ada di Kairo, Mesir. Masjid ini dibangun pada abad ke-12. Berlokasi di Kairo, Mesir, masjid ini berdekatan dengan Masjid Al-Azhar. Keindahan Masjid Al-Husein sangat tersohor.

Masjid ini awalnya merupakan lokasi pemakaman para Raja Dinasti Fathimiyah. Kerusuhan dan pemberontakan dari wilayah Asqolan menyebabkan terjadi perubahan dari sejarah masjid ini.

Khalifah saat itu memimpin Mesir meminta untuk memindahkan jenazah kepala Al-Husain yang awalnya di Asqolan menuju Kairo. Kepala Jenazah Sayyidina Husain sampai di Mesir pada 1153. Sementara Masjid Al-Husain dibangun pada 1154.

Kepala Al-Husain kemudian dimakamkan di area pemakaman Dinasti Fathimiyah yang kemudian menjadi masjid Al-Husain sekarang.

Awal pembangunan masjid Al-Husain awalnya menimbulkan pertentangan dari beberapa ulama ahlussunnah. Pasalmya adanya makam Sayyidina Husain yang ditempatkan di depan imam.

Makam Sayyidina Husain putra dari Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra dibuat dengan nisan perak. Makam tersebut kerap kali dikunjungi oleh peziarah dari berbagai belahan dunia.

Para peziarah ini mengingat perjuangan Sayyidina Husain dalam mempertahankan Islam saat terjadi Perang Karbala.

Selain masjid Al-Azhar, Masjid Al-Husain juga kerap kali menjadi tujuan ibadah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Bangunan masjid yang luas dan penuh sejarah menjadikan masjid ini menjadi tujuan utama untuk beribadah dan belajar sejarah Islam.

Mesir – Museum Cairo

Museum terbesar di Mesir tempat peninggalan barang barang bersejarah dari peradaban Mesir kuno, didirikan tahun 1902, lokasi Kairo, Ukuran 120,000 koleksi, Direktur adalah Mohamed Abdel Hamid Shimy dan Situs web   www.egyptianmuseum.gov.eg.

Topeng emas Tutankhamun terdiri dari 11 kg emas murni yang dipamerkan di Museum Mesir.

Museum Mesir atau Museum Kairo adalah sebuah museum di Kairo, Mesir. Museum ini adalah rumah bagi koleksi antik bangsa Mesir kuno dan memiliki 120.000 koleksi.

Pemerintah Mesir mendirikan museum pada tahun 1835 di dekat Taman Ezbekeyah. Museum ini segera pindah ke Boulaq pada tahun 1858 karena bangunan aslinya terlalu kecil untuk menampung semua artefak. Pada tahun 1855 tak lama setelah artefak dipindahkan, Archduke Maximilian dari Austria diberi semua artefak. Dia menyewa seorang arsitek Prancis untuk merancang dan membangun sebuah museum baru untuk barang antik. Gedung baru itu akan dibangun di tepi Sungai Nil di Boulaq . Pada tahun 1878 setelah gedung museum selesai kemudian mengalami beberapa kerusakan kecil, banjir dari Sungai Nil menyebabkan barang antik selanjutnya direlokasi ke museum lain di Giza. Artefak tetap di Giza sampai 1902 ketika museum dipindah hingga saat ini di Tahrir Square.

Ada dua lantai utama museum, lantai dasar dan lantai pertama. Di lantai dasar ada koleksi papirus dan koin yang digunakan dalam dunia kuno. Berbagai potongan papirus umumnya fragmen kecil, karena pembusukan mereka selama dua ribu tahun terakhir. Beberapa bahasa yang ditemukan pada potongan-potongan ini adalah Yunani, Latin, Arab, dan Mesir Kuno dari tulisan hieroglif. Koin-koin yang ditemui di lantai dasar terbuat dari bermacam logam berbeda termasuk emas, perak, dan perunggu. Koin-koin tersebut tidak hanya Mesir, tetapi juga Yunani, Romawi, dan Islam. Hal ini telah membantu sejarawan penelitian sejarah perdagangan Mesir Kuno. Juga di lantai dasar adalah artefak dari Kerajaan Baru, jangka waktu antara 1550 dan 1069 SM. Artefak ini umumnya lebih besar dari koleksi abad sebelumnya. Barang-barang termasuk patung, meja, dan peti mati (sarkofagus).

Di lantai pertama ada artefak dari dua dinasti terakhir Mesir termasuk barang dari makam para Firaun Thutmosis III, Thutmosis IV, Amenophis II, Hatshepsut, dan punggawa Maiherpri, serta banyak artefak dari Lembah Para Raja.

Pada tanggal 28 Januari 2011 saat Revolusi Mesir 2011, museum ini didobrak oleh ratusan orang dan dua mumi dilaporkan hancur. Selain itu, sejumlah koleksi dilaporkan hilang, walaupun beberapa di antaranya kemudian didapatkan kembali berceceran di sekitar museum ataupun disita oleh polisi.

Mesir – Mumi Firaun

Jenazah raja Firaun yang diceritakan di dalam Al-Quran Museum Mummi (Royal Mummy Room)

Bagian paling berharga dan presitisius di museum nasional Mesir  ini adalah museum yang menyimpan mumi raja-raja Mesir.  Museum ini dijaga ketat oleh aparat keamanan yang bersenjata lengkap. Pengamanannya pun berlapis=lapis, salah satunya melalui metal detector. Tiket masuknya pun lumayan mahal yaitu LE 100 (100 pon Mesir).

Museum mummi  (Royal Mummy Room) yang memajang 11  mummi kerajaan pada masa Pharaoh (Firaun). Para sejarawan kesulitan menentukan masa kekuasaan para Firaun tersebut.  Tapi mereka memperkirakan Sneferu berkuasa sekitar tahun 2620 SM   dan Akhenaten berkuasa tahun  1350 SM. Mummi Firaun yang berkuasa pada zaman Nabi Musa AS juga dipajang di sana. Mummi Firaun itulah obyek paling menarik bagiku. Tidak pernah terbayangkan Mummi Firaun ada di depan mataku. Penguasa yang ingin dipertuhan ini terbujur kaku dalam bentuk mummi yang berwarna kehitaman. Dalam Al Quran diceritakan Nabi Musa AS atas pertolongan Allah membelah laut Merah dengan tongkatnya sehingga bisa menyebrang bersama ummatnya. Firaun dan para pengikutnya mengejar melalui jalan itu, tapi laut Merah menutup dan binasalah mereka . namun Allah SWT menghendaki agar jasad Firaun diselamatkan agar manusia dapat melihatnya sebagai tanda kekuasaanNya. Jasad itu terbujur kaku di depanku dalam bentuk mummi.

This is the body of Fir’awn (Rameses II), believed to be the Pharaoh in the time of Prophet Musa [Moses]. His mummy is preserved and is currently on display in the Royal Mummies Chamber in The Grand Egyptian Museum, Cairo.

Rekonstruksi wajah Firaun Ramses II.

Mesir – Benteng Salahuddin Al Ayyubi, Kairo

Sayang kami tidak sempat turun ke benteng bersejarah ini, kami hanya mengamati dari bis saja, salah satu situs sejarah kota tua Mesir, benteng kokoh yang masih berdiri dengan gagah. Benteng  yang merupakan susunan batu granit tebal itu memberikan gambaran betapa kuatnya  Salahuddin Al Ayyubi membangun pertahanan dari serangan musuh.

The Saladin Citadel of Cairo terletak di bukit  Mokattam dekat pusat kota Kairo. Benteng ini memiliki  udara yang segar dengan pemandangan yang indah ke kota Kairo. Kini benteng Saladin menjadi tempat cagar budaya dengan masjid dan museum.

Benteng dibangun oleh pemimpin dinasti Ayubi, Shalahudin, antara tahun 1176-1183 untuk berlindung dari kaum Salib. Beberapa tahun setelah mengalahkan Khalifah Fatimiyah, Salahudin membangun tembok besar yang meliputi Kairo dan Fustat, dengan maksud agar tentaranya dapat mempertahankan dua kota tersebut sekaligus, dan menurutnya adalah baik untuk mengelilinginya dengan tembok dari satu tepian ke tepian sungai Nil lainnya.  Benteng dibangun di bukit maka akan sulit untuk diserang. Di benteng itulah pemerintahan Mesir sampai abad ke-19.

Untuk mensuplai air ke benteng, Salahudin membuat sumur sedalam 85 m yang dinamakan sumur Yusup yang dikenal sebagai sumur spiral karena menggunakan 300 lingkaran menuju sumur. Air dari sumur dinaikkan ke permukaan dan kemudian ke benteng dengan menggunakan serangkaian jembatan air (aqueduct). Sumur itu kemudian ditambah dengan kincir air dari Sungai Nil di masa Nasir Muhammad dari dinasti Mamluk.

Nasir juga membangun kembali masjid dan kemudian diberi nama masjid Nasir di tahun 1318. Masjid ini seperti replica masjid Biru yang berada di Istanbul.  Masjid Nasir memiliki tata akustik yang bagus sehingga tidak diperlukan adanya pengeras suara. Suara Imam masjid dan khatib dapat terdengar jelas oleh para jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah di dalamnya.

Dengan pertahanan lapis tiganya, Benteng Salahuddin merupakan benteng termaju pada zamannya ditambah dengan arsitektur yang dibangun dengan batu marmer dan granit. Benteng tersebut juga memiliki gerbang yang megah dengan menara kokoh menjulang ke langit.

Jika pasukan musuh sudah datang dari kejauhan, benteng memiliki pertahanan jarak jauh menggunakan meriam dan panah yang dilakukan lewat menara-menara benteng yang dibangun dengan jarak seratus meter. Apabila pasukan musuh berhasil menembus dinding benteng, mereka akan disambut ruang terbuka yang akan menjadi sasaran pasukan Shalahuddin yang bersiap di atas benteng. Lalu musuh akan melewati lorong-lorong bercabang sepanjang 2.100 meter yang berfungsi untuk membingungkan musuh.

Dinasti Ayubiyah adalah salah satu kerajaan yang didirikan oleh Salahudin al-Ayubi, seorang tokoh Kurdi yang berkebangsaan Suriah. Bersama Shirkuh, ia menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169.  Selama berkuasa pada abad ke-12 dan ke-13, dinasti ini memiliki daerah kekuasaan yang cukup luas meliputi Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz, dan Irak utara.

Salah satu prestasi terbesar yang pernah ditorehkan dinasti ini adalah memukul mundur dan membuat malu tentara Salib dalam Perang Hattin, yang bertujuan menaklukkan dan mengambil alih Baitul Maqdis dari tangan tentara Salib. Peristiwa itu terjadi pada 1187.

Salahudin wafat pada 1193, dan perlahan kerajaan semakin melemah. Dinasti ini berakhir, setelah pada 1250 Turanshah, Sultan Ayubiyah terakhir terbunuh oleh budak Mamluk Aibeknya.

Selama berkuasa, Dinasti ini memiliki armada dan benteng yang sangat kuat. Dinasti Ayubiyah mendirikan sejumlah benteng kokoh di sejumlah daerah yang pernah menjadi kekuasaannya.

Benteng ini telah menjadi saksi sejarah panjang Mesir. Kini terdapat dua museum di Benteng Salahuddin. Museum Permata (Qashrul Jawharah) yang berisi perhiasan raja-raja Mesir, diantaranya singgasana Raja Farouk, dan Museum Polisi (Mathaf As-Syurthah) yang terdiri dari 6 bagian, diantaranya ruangan yang memamerkan senjata-senjata yang pernah dipakai polisi Mesir sepanjang sejarahnya, ruangan dokumen-dokumen penting semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga kini, dan ruangan-ruangan lainnya.

Seusai merampungkan benteng, ia membangun dinding yang mengelilingi dua pusat kota ketika itu, yaitu Kairo dan Fustat. Benteng itu hingga kini masih berdiri kokoh dan berlokasi tak jauh dari pusat Kota Kairo modern.

Mesir – Dinner Nile Cruse in Cairo

Malam terakhir di Mesir kami dijamu makan malam di atas Sungai Nil, sungai terpanjang didunia. Sungai sepanjang 6.650 kilometer ini tak hanya melintasi Mesir, tapi juga Etiopia, Eritrea, Sudan, Uganda, Tanzania, Kenya, Rwanda, Burundi, Kongo, dan Sudan Selatan.

Sekitar jam 5 sore kami sudah siap di dermaga di tepian sungai Nil. Sebuah kapal pesiar besar berwarna kuning emas dengan nama yang keren “Andrea Manasterly” sudah merapat. Proses boarding cukup lancar dan melalui sebuah pintu gerbang yang antik, dengan hiasan pernak-pernik model Mesir kuno.

Interior maupun eksterior kapal pesiar yang akan membawa kita berlayar selama beberapa jam di Sungai Nil ini nampak sangat mewah. Warna kuning emas mendominasi . Hiasan  dan ornamen seperti obelisk, sphinx, dan juga hewan-hewan mitologi seperti yang ada di kuil-kuil Mesir juga ikut meramaikan suasana. Kursi dan meja didominasi oleh warna merah dan kuning keemasan. Ruangan baik lantai bawah maupun lantai atas memiliki jendela besar dari kaca, sehingga memberikan pemandangan kota Kairo yang mempesona di senja dan malam pelayaran singkat hari ini.

Memasuki  lantai bawah, di tengah ruangan, terdapat sebuah panggung  dengan “life music” yang  sedang memainkan lagu-lagu Mesir. Di lantai atas disediakan tempat duduk dengan setting yang sama tanpa hiburan.

Kapal pun mulai melepas jangkar dan berlayar perlahan di tengah sungai menuju arah selatan kota Kairo. Sementara makanan dan minuman mulai dihidangkan dan musik terus bermain dengan riang. Suasana meriah dan gembira yang ada di kapal membuat suasana hati setiap orang juga menjadi sama riang dan gembiranya.

Santap makan malam ala buffet dimulai, seperti biasa makan nya sekedar menggugurkan kewajiban, beda lidah Indonesia. Sambil makan kami dihibur oleh penyanyi bapak-bapak yang lumayan menghibur, kemudian sampailah pada acara tari perut, tarian khas timur tengah. Tour Guide kami sebelumnya sudah memberikan solusi, apabila ada yang merasa risi menonton tari perut dipersilakan naik ke deck lantai 2. Namun anehnya tidak ada yang berpindah semuanya terpesona dengan tarian khas mesir tersebut. Endingnya, ia berkeliling dari meja ke meja. Mengajak foto bersama untuk diambil oleh tukang foto yang kemudian menjualnya lima dollar AS.

Setiap kali membicarakan perjalanan ke negri-nergi Timur Tengah, maka Tari Perut selalu menjadi topik percakapan yang hangat dan penuh kontroversi. Bagi sebagian kita di Indonesia, kadang-kadang sangat sulit memahami mengapai di negara yang Islamnya begitu kuat, ternyata tari perut pun tetap eksis dan berkembang sampai saat ini. Tari perut menjadi hiburan wajib kalau kita berkelana di Afrika Utara dan Timur Tengah, dengan perkecualian Arab Saudi dan Iran tentunya. Dan tentu saja pelayaran di Sungai Nil juga identik dengan hiburan tari perut ini.

Konon tari perut memang sudah ada di daerah ini bahkan sebelum agama Islam. Dulunya, pada suku-suku Arab kuno, tarian ini dipertunjukan sebagai penghormatan kepada Dewi Kesuburan. Tentu saja tidak ada data tertulis kapan pastinya tari ini mulai dimainkan. Pada jaman dahulu, profesi penari perut merupakan salah satu profesi yang terhormat. Namun di Mesir kini, profesi ini kurang terpandang dan kebanyakan dilakoni oleh para pendatang.

Penari perut yang muncul di panggung setelah pertunjukan Sema  usai ternyata penari yang usianya sudah setengah baya. Sepintas terlihat berusia di atas tigapuluhan. Namun postur tubuhnya memang tampak tetap tegap dan langsing, namun berisi. Mungkin karena setiap hari harus latihan gerakan-gerakan tertentu yang khas tari perut.

Mula-mula ia membawa semacam kain yang digunakan untuk menutup seluruh tubuh. Namun kain ini kemudian dilemparkan ke penonton sehingga kemudian tinggal pakaian yang cukup seksi  sehingga memancing teriakan penonton.

Sekitar tiga puluh menit penari meliuk-liuk dan kadang-kadang menggoda penonton pria untuk diajak menari atau bahkan berfoto bersama penari. Keriangan terus berlangsung sampai malam mulai menggayut di Kota Kairo. Lampu-lampu gedung pencakar langit, dan juga jalan-alan di sekitar sungai Nil menghiasi kota Kairo dan kapal pun perlahan-lahan mulai merapat lagi ke dermaga. Suatu senja dan malam yang berkesan dan tidak terlupakan dalam lawatan di  ibu kota Mesir ini.

Pembawa acara kemudian mengumumkan bahwa pertunjukan ‘Whirling Dervish” , yaitu tarian berputar Sufi akan segera dimulai. Whirling Dervish adalah sebuah tarian yang berasal dari Turki dan disebut “Sema”. Pada mulanya tarian yang dilakukan sambil terus berputar dan berdzikir ini lebih merupakan upacara ritual keagamaan.  Jalaluddin Rumi yang  meninggal di Konya, Turki pada 17 Desember 1273 merupakan tokoh dan maestro utama kaum sufi.  Aliran sufi kemudian berkembang tidak saja di Turki, tapi juga ke negara-negara di sekitarnya seperti Iran, Pakistan, dan tentu saja Mesir.

Penari Sema disebut Semazen dan pada upacara yang asli dilakukan dalam sebuah kelompok, mereka terus berputar dengan arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam sambil berdzikir dan juga berputar melintasi halka atau lingkaran bagaikan planet mengitari matahari. Konon dengan cara berputar terus para penari bisa bersatu dengan Sang Pencipta.

Biasanya pakaian yang dipakai semazen berwarna putih, namun pada pertunjukan di atas kapal  ini pakaian yang dipakai berwarna-warni yang merupakan gabungan merah, putih, biru, kuning, dan hijau. Bagian bawah pakaian sangat lebar sehingga terlihat seperti rok dan pada saat memutar bisa membentuk konfigurasi yang cantik. Uniknya lagi, pakaian bagian bawah ini ternyata berbentuk lingkaran yang kemudian bisa dilepas dan juga diputar-putar membentuk semacam “Frisbee” atau bahkan piring terbang. Mungkin improvisasi gerakan-gerakan ini lebih diutamakan unsur hiburan dan pertunjukan panggung dibandingkan dengan gerakan aslinya yang bertujuan ritual.

Sambil berputar semazen juga memegang berberapa buah rebana yang terus dimainkan seperti pesulap ataupun pertunjukan dalam akrobat. Dibutuhkan Keterampilan dan latihan yang sangat baik untuk mencapai tingkat keseimbangan tubuh seperti ini. Benar-benar sebuah pertunjukan yang menghibur dan juga memberikan nuansa lain dari arti sebuah perjalanan.

Dari kami diberi kesempatan, lalu tampil Pak Dokter Dwi untuk memakai kostum sema dan kemudian diajarkan berputar untuk memainkan  tarian “Whirling Dervish” ini. Namun tentu saja  gerakannya sangat lucu dan memberikan suatu hiburan tersendiri  dari pertunjukan di atas sungai Nil ini.

Malam itu sungguh mengesankan, setelah selesai cruise bolak balik, kapal merapat kedermaga, kami turun dan bergegas menuju bus untuk meneruskan perjalanan ke Bandara Internasional Kairo.

Selamat tinggal, Sungai Nil. Di sini, bayi Musa dipungut keluarga Firaun dari ancaman pembunuhan. Di sini pula kami menikmati seni budaya khas Mesir yang terjaga bertahun-tahun.

Palestina – Jericho: kota tertua di bumi

Kami tidak sempat menjelajah kota Jericho karena alasan keamanan, hanya melewati dan mengamati kota tua itu dari bis. Yerikho atau Ariha (arab) adalah sebuah kota yang terletak di Tepi Barat, Governorat Yerikho, di dekat Sungai Yordan. Saat ini Yerikho memiliki populasi sebesar 25.000 orang Palestina dan Israel.

Jericho adalah kota tertua di dunia, dihuni sejak 9000 SM, dulu nya dihuni oleh manusia nomaden yang semula berburu untuk bertahan hidup lalu juga mulai bertani gandum, kacang-kacangan, dan serealia seperti barli. Sistem irigasi sederhana juga dibangun untuk mengairi lahan pertanian Palestina di zaman batu Neolitikum tersebut.

Untuk menjaga kawasan yang berharga, orang Jericho pertama yang tercatat dalam sejarah membangun tembok kota sebagai pembendung banjir. Pada tahun 8000 SM, sekitar 300-3.000 orang hidup di Jericho, seperti dikutip dari World History Encyclopaedia.

Pemukiman kedua di Kota Jericho berdiri sekitar tahun 7000 SM. Penduduk Jericho diperkirakan saat itu sudah berternak domba. Manusia saat itu juga sudah mengenal pembuatan piring dan mangkuk dari batu kapur, mata panah, bilah sabit, pahat, pencakar, kapak, batu asah, batu palu, dan kapak dari batu hijau.

Pada tahun 4000 SM, Kota Jericho kembali menjadi kota bertembok. Setelah hancur berkali-kali, tembok kota terbesar dibangun pada tahun 2600 SM oleh orang Amori.

Zaman keemasan Jericho terjadi antara tahun 1700-1550 SM. Saat itu, bangsawan Kanaan melakukan urbanisasi dengan kereta Maryannu. Saat itu, Kota Jericho sampai punya dua lingkar dalam dan luar tembok kota dari bata lumpur.

Sayangnya, bangunan termasuk tembok Kota Jericho tidak cukup kuat. Pada 1573 SM, kota tertua di dunia ini hancur oleh gempa bumi. Artefak kayu hangus di Jericho membuktikan terjadi kebakaran setelah gempa. Persediaan makanan ditemukan terkubur di bekas kota ini.

Menurut Alkitab, Jericho adalah kota pertama yang diserang bangsa Israel setelah menyeberangi Yordan dan memasuki Kanaan sekitar tahun 1400 SM. Tembok Kota Jericho dihancurkan saat orang Israel berjalan mengitarinya selama tujuh hari dengan membawa Tabut Perjanjian.

Penggalian di situs Kota Jericho mendapati bahwa tembok kota runtuh sekitar abad ke 13, 16-17 SM. Tembok kota Jericho juga lagi-lagi runtuh sekitar tahun 1267 dan 1927 Masehi. Peneliti menilai, kemungkinan besar penyebab keruntuhan adalah gempa bumi, sesuai dengan deskripsi dinding yang runtuh di dalam Alkitab.

Dipercaya bahwa Yerikho merupakan kota tertua di dunia, Arkeolog telah menggali puing-puing lebih dari 20 penghunian berurutan di Yerikho. Desa pertama di tempat ini ditemukan oleh arkeolog di Yerkiho yang berusia 200 tahun lebih tua daripada di daerah lainnya. Tiga pemukiman berbeda telah ada di dekat lokasi itu selama lebih dari 11.000 tahun (sekitar tahun 9000 SM), hampir pada permulaan era Holocene dalam sejarah dunia. Posisi itu sekitar rute utara dari Laut Mati.

Yericho digambarkan dalam Alkitab Ibrani sebagai “Kota Pohon Palem”. Banyak sumber-sumber air di dalam dan sekitar kota ini menarik orang-orang untuk menghuninya selama ribuan tahun. Dikenal dalam tradisi Yudeo-Kristen sebagai tempat terjadinya Pertempuran Yerikho yang memastikan penghunian orang Israel di tanah Kanaan ketika sampai di sana setelah keluar dari Mesir, di bawah pimpinan Yosua bin Nun, pengganti Musa.

Nama Yerikho dalam bahasa Ibrani, Yeriẖo, diyakini diturunkan kata bahasa Kanaan Reaẖ (“wangi-wangian”), meskipun ada teori alternatif bahwa kata itu diturunkan dari kata yang berarti “bulan” (Yareaẖ), karena kota itu awalnya merupakan pusat penyembahan dewa-dewa bulan.

Kota ini sempat ditinggalkan dan dihancurkan beberapa kali, namun kembali dibangun di area yang sama. Saat ditaklukkan oleh Inggris pada tahun 1918, wilayah Jericho menjadi bagian dari mandat Inggris untuk Palestina, seperti dikutip dari Encyclopaedia Britannica.

Jericho juga dimasukkan ke Yordania sebagai tempat dua kamp besar pengungsi Arab setelah perang Arab-Israel pertama pada 1948. Selama Perang Enam Hari pada 1967, Kota Jericho diduduki Israel. Kelak pada tahun 1994, Jericho diserahkan kepada otoritas Palestina di bawah perjanjian pemerintahan Israel-Palestina.

Kota Tua Jericho, atau dikenal juga dengan nama Tel Es-Sultan, adalah sebuah permata bersejarah di Tepi Barat yang baru-baru ini diakui oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Pencapaiannya ini menjadi momen bersejarah bagi Palestina dan seluruh dunia, karena Jericho adalah salah satu kota tertua di dunia yang telah berdiri sejak 10.000 SM.

Jericho tua terletak sekitar 1,5 kilometer di utara Kota Jericho modern dan sekitar 10 kilometer di barat laut Laut Mati. Namun, yang membuatnya benar-benar menakjubkan adalah ketinggian geografisnya yang unik, yaitu berada 250 meter di bawah permukaan laut. Hal ini menjadikannya kota kuno terendah di dunia dan menempatkannya di sepanjang Lembah Jordan Rift yang menakjubkan.

Kota Tua Jericho memiliki warisan budaya yang sangat beragam yang mencakup rentang waktu yang luar biasa, mulai dari milenium ke-10 SM hingga abad ke-7 Masehi, termasuk masa Bizantium dan masa sebelumnya. Kota ini memiliki akar yang dalam dalam sejarah manusia, dan ini tercermin dalam situs-situs penting yang dapat ditemukan di sekitar kota.

Salah satu aspek paling mencolok dari warisan budaya Jericho adalah tembok pertahanan kota yang merupakan salah satu contoh tertua dari bentuk arsitektur defensif manusia. Tembok ini berasal dari milenium ke-10 SM dan memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana manusia pada masa itu membangun dan melindungi kotanya.

Kota Tua Jericho memiliki peran penting dalam sejarah Palestina. Terletak di Tepi Barat, kota ini telah menjadi saksi perjalanan panjang bangsa Palestina. Jericho adalah bukti keaslian dan sejarah bangsa Palestina, dan pemilihannya sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO menjadi pengakuan internasional atas warisan budaya yang tak ternilai dari Palestina.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan komitmen Palestina untuk menjaga situs ini demi kepentingan umat manusia. Ia menganggap pemilihan Jericho sebagai Situs Warisan Dunia sebagai tonggak sejarah bagi bangsa Palestina.

Meskipun Jericho telah mendapatkan pengakuan yang pantas sebagai Situs Warisan Dunia, tantangan untuk memelihara dan melindunginya tetap ada. Situasi politik yang rumit di Tepi Barat, yang melibatkan pendudukan Israel, telah menciptakan tantangan tambahan dalam pemeliharaan warisan budaya ini.

Namun, Palestina bersama dengan komunitas internasional telah berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan Kota Tua Jericho. Pengakuan oleh UNESCO menambah motivasi untuk melindungi dan merawat warisan yang berharga ini agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Jericho adalah saksi hidup dari hubungan manusia dengan masa lalu mereka. Sebagai salah satu kota tertua di dunia, Jericho memiliki sejarah yang kaya dan beragam yang mencerminkan perjalanan panjang manusia di Bumi ini. Pengakuan oleh UNESCO adalah langkah penting dalam menjaga dan merayakan kekayaan warisan budaya Palestina, dan ini adalah momen bersejarah yang patut diingat bagi bangsa Palestina dan seluruh dunia.