Turki 2015 – Ephesus (part II)

3. Gua Ashabul Kahfi (The Cave of Seven Sleepers)

Sebenarnya masih menjadi perdebatan di mana sebenarnya Goa tempat cerita Tujuh orang Ashabul Kahfi yang tertidur lebih dari 300 tahun itu berada. Para ahli sejauh ini memprediksi beberapa lokasi yang dipercaya sebagai lokasi goa tersebut seperti di Yordania, Suriah, Tunisia, Palestina, dan salah satunya di Turki ini yaitu di Ephesus, Selcuk. Dipercayanya lokasi di dekat Ephesus ini karena berdasarkan sejarah Ephesus itu sendiri yang merupakan kota kuno Romawi. Dalam sejarah Kristen dan Islam keduanya memiliki keterkaitan untuk menyimpulkan goa tersebut berada di Selcuk ini.

Terlepas dari perdebatan itu, tak ada salahnya juga kalau sudah berada di Selcuk untuk mencoba menyambangi Goa tempat tidurnya Ashabul Kahfi ini. Lokasinya juga berada di kaki Pegunungan Bulbul dagi dan cukup terpencil. Untuk menuju lokasi ini dari pusat kota Selcuk memang harus menggunakan taksi atau kendaraan pribadi karena belum adanya angkutan umum yang khusus menuju jalur ini. Di dekat area masuk, terdapat sebuah restoran perkebunan. Di sanalah titik yang bisa dikatakan cukup hidup karena selama perjalanan ke lokasi ini saja kita akan melalui jalanan lengang dan sepi, apalagi untuk menuju gua nya, maka jalanan tanah tanpa fasilitas wisata.

4. Ephesus Museum, Selçuk, Turkey

Museum modern Ephesus berada di kota Selçuk, memiliki koleksi benda-benda arkeologi yang digali di Ephesus seperti artefak Kuil Artemis Ephesus yang besar, artefak dari periode Hellenistic dan Romawi kuno,  artefak dari Basilika St John serta benteng di dekatnya Belevi Mausoleum. Museum ini memiliki dua bagian utama: arkeologi dan etnografi. Berbagai artefak dari Prasejarah, Mycenaean, Archaic, Classical, Helenistik, Romawi, Bizantium, Seljuk dan periode Ottoman dipajang di 8 ruang pameran yang berbeda dan dalam sebuah halaman yang besar.

Sebelum ruang pameran di pintu masuk di sebelah kiri, para tamu dapat menonton video yang menjelaskan Museum Ephesus dengan banyak gambar animasi. Proyektor film video dalam 3 bahasa yang berbeda: Turki, Inggris dan Jerman, masing-masing 10 menit.

Ditutup untuk renovasi selama beberapa tahun, pekerjaan selesai pada awal 2015 dan museum ini kembali dibuka untuk pengunjung. Bangunan baru ini dikerjakan dengan mengagumkan, pamerannya diperhalus dan ditampilkan dengan baik, dengan penjelasan dalam bahasa Turki dan Inggris. Museum yang telah direnovasi ini memiliki lebih banyak ruang pameran, tetapi sekitar 40% dari keseluruhan ruang sekarang didedikasikan untuk toko suvenir dan kafe.

5. Temple of Artemis

Kuil ini dulu sebagai tempat pemujaan terhadap Dewi Artemis sang dewi bulan dan perburuan yang juga merupakan saudari kembar dewa Apollo. Sulit membayangkan kemegahan kuil ini sekarang, namun kuil ini dulunya memiliki 127 pilar untuk menyokong bangunan ini. Ketika sampai di Artemision, jangan heran kalau kita hanya melihat sebuah tiang di tengah tanah lapang dengan rerumputan dan fondasi bangunan yang kadang tertutup oleh air. Yah, inilah reruntuhan yang dulunya adalah salah satu dari 7 Keajaiban Dunia Zaman Kuno.

Kuil yang dibangun oleh penduduk Ephesus ini berkali-kali dibangun ulang karena terkena banjir, dibakar orang yang tak bertanggung jawab, dan terakhir dijarah dan dihancurkan oleh Suku Goth. Kuil ini pun akhirnya tidak terawat dan pilar-pilar serta bahan bangunannya diambil untuk mendirikan bangunan lain seperti Basilica St. John dan Hagia Sophia. Sekarang yang tersisa hanyalah sebuah pilar hasil rekonstruksi para arkeolog dengan sarang bangau di atasnya.

Ilustrasi Kuil Artemis saat masih utuh
Sisa-sisa Reruntuhan Kuil Artemis

6. St. John Basilica

St. John Basilica merupakan salah satu gereja atau tepatnya reruntuhan gereja tertua di Selcuk. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit dengan sedikit menaiki bukit, basilika yang sudah menjadi museum ini sudah tampak di depan mata. Dengan membayar tiket 5 Lira, kita dapat masuk ke kompleks basilika yang sekarang memang tinggal puing-puing saja. Hanya ada beberapa bagian dinding dan tiang-tiangnya yang masih utuh. Selain itu, di tempat ini juga ada makam St. John atau Yohanes Pembaptis atau Nabi Yahya A.S.

Sebuah papan keterangan dalam bahasa Turki dan Inggris menjelaskan sejarah basilika ini. Uniknya dalam bahasa Turki St. John atau Santo Yohanes disebut sebagai Aziz Yahya. Menurut papan keterangan, basilika yang berisi makam St. John  ini dibangun pada abad ke-6 oleh Kaisar Justinian dan Ratu Theodora menggantikan gereja tua beratapkan kayu yang sudah dalam kondisi rusak pada saat itu. Basilika ini dibangun dengan enam buah kubah megah dan berbentuk salib dengan ukuran sangat besar, yaitu 130×65 meter.

Karena kemegahannya maka basilika ini pun menjadi salah satu pusat ziarah umat kristiani pada waktu itu dan merupakan bangunan termegah yang dibangun setelah Temple of Arthemis di Efesus. Pada saat Selcuk jatuh ke tangan orang Turki yang beragama Islam pada awal abad ke-14, sebagian basilika diubah menjadi masjid. Namun, sebuah gempa bumi yang dashyat pada tahun 1365 membuat bangunan ini runtuh. Penggalian baru dimulai lagi apada awal abad ke-20 dan sampai saat ini hanya sebagian dinding dan tiang yang dapat kita saksikan.

Reruntuhan St. John Basilica

7. Isa Bey Mosque

Masjid Isa Bey adalah salah satu destinasi wisata di Turki yang menarik dikunjungi karena sejarah, bentuk arsitekturnya yang unik serta letaknya yang berada di antara gereja dan kuil. Masjid Isa Bey dibangun pada tahun 1374-1375, merupakan salah satu karya seni arsitektur tertua dan paling mengesankan yang tersisa dari beyliks Anatolia. Masjid ini terletak di pinggiran Bukit Ayaslug di Selcuk, Izmir. Masjid Isa Bey terletak di sisi barat kota Selçuk, di persimpangan St. Jean Caddesi dan 2040 Sokak. Berdiri hanya 300 meter dari reruntuhan Kuil Artemis dan 250 meter dari pintu masuk ke Basilika St. Saint John.

Masjid Isa Bey Turki

Masjid ini dinamai setelah pendiri eponymous – Isa Bey – anggota keluarga penguasa setempat. Dia berasal dari dinasti Aydinid (tr. Aydinogullari), yang memerintah atas apa yang disebut beylik (semacam kerajaan distrik Turki) di daerah pantai Aegean Asia Asia Kecil. Ibu kota mereka adalah yang pertama di Birgi, dan kemudian – di Selcuk. Di kedua kota tersebut, sejumlah monumen arsitektur dari periode sejarah ini telah dilestarikan, dan Masjid Isa Bey adalah salah satu perwakilan terbaiknya. Menurut prasasti yang ditempatkan pada bangunan, pembangunannya selesai pada 1375. Arsitek yang bertanggung jawab untuk pembangunan masjid adalah Şamlı Dımışklıoğlu Ali. Asal-usul Seljuk bangunan terlihat dalam arab ornamen, mosaik faience, portal barat tinggi monumental, dan dekorasi mewah.

Sebagai akibat dari gempa bumi yang menghantam wilayah Selçuk pada 1653 dan 1668, masjid tersebut rusak parah. Salah satu dari dua menara runtuh sepenuhnya, dan yang kedua runtuh di ketinggian balkonnya. Juga, pilar-pilar yang mengelilingi halaman dihancurkan. Pada abad ke-19, masjid yang hancur digunakan sebagai karavan. Dengan dana yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Yayasan, renovasi menyeluruh masjid dilakukan pada tahun 1975. Sejak itu terbuka untuk Muslim yang setia dan para wisatawan. Renovasi bangunan lainnya terjadi pada tahun 2005.

Arsitektur Indah Masjid Isa Bey

Masjid Isa Bey memiliki dua pintu masuk utama, ke timur dan ke barat dan berisi lapangan air mancur. Dinding barat memiliki tulisan dan bentuk geometris terukir. Dinding-dinding ini ditutupi dengan marmer, sedangkan fasad di sisi-sisinya yang tersisa terbuat dari batu potong. Dibangun secara asimetris di atas dasar 48-kali-56-meter (157 kali 184 kaki). Pelek kubahnya, dengan diameter 9,4 meter (31 kaki) dan 8,1 meter (27 kaki), didekorasi dengan ubin Iznik (Nicaea). Dua belas tiang bundar berdiri di dalam halamannya yang dikelilingi beranda. Menara bata dibangun di atas dasar segi delapan, dan bagian atas dari balkon hancur. Masjid itu memiliki menara lain di barat, yang benar-benar hancur sekarang. Mihrab (ceruk atau altar) dipindahkan ke masjid lain, karena pintu dibuka di sana. Ada Seljuk turbe segi delapan yang terbuat dari batu dan batu bata, dengan atap berbentuk limas, tepat di sebelah masjid.

Interior Masjid Isa Bey

Apa yang membuat Masjid Isa Bey unik adalah desainnya yang asimetris. Tidak seperti masjid yang dibangun dengan gaya tradisional, lokasi jendelanya, pintu, dan kubahnya tidak seragam. Menariknya, kolom-kolom di dalam masjid ini bukan dari konstruksi aslinya. Mereka dari reruntuhan sebelumnya di Ephesus dan Kuil Artemis yang dimasukkan ke dalam bangunan. Ada dua belas kolom ini di sekitar halaman. Marmer diukir dengan desain geometris dan tulisan kaligrafi. Kubah yang dihiasi oleh pirus dan fayans biru, mengungkapkan karakteristik gaya Ottoman.

Arsitektur Indah Masjid Isa Bey

Beberapa hal menarik dari Masjid Isa Bey

  • Masjid ini terletak tepat di bawah benteng di Selcuk dekat Basilika St. John dengan ukuran 51m x 57m termasuk halaman besar.
  • Masjid itu sendiri terdiri dari dua lorong lateral yang ditutupi dengan dua kubah di tengahnya. Menara bata yang masih hidup di sisi utara memiliki basis segi delapan. Fasad barat ditutupi marmer, diukir dengan desain geometris yang indah dan tulisan kaligrafi.
  • Di dalamnya ada mihrab dan mimbar, keduanya terbuat dari marmer, dan dicat ubin pirus di kubah. Kolom interiornya Klasik, dari reruntuhan lokal.
  • Masjid sekarang memiliki satu menara, dibangun dari batu bata pada rencana segi delapan. Setelah itu dihiasi dengan menara kedua, yang tidak dibangun kembali setelah gempa bumi di abad ke-17. Di sekitar masjid berdiri sebuah makam Seljuk segi delapan yang dibangun dengan batu dan batu bata, dengan atap berbentuk limas.
  • Halaman dalam dengan air mancur dikelilingi oleh 12 kolom. Tiang-tiang itu dibawa ke sini dari reruntuhan Efesus kuno. Dinding barat dihiasi dengan prasasti berukir dan bentuk geometris. Dindingnya dilapisi dengan marmer, sedangkan fasad di sisi yang tersisa terbuat dari batu yang dipotong.

8. House of Virgin Mary

Sebenarnya lokasi dari House of Virgin Mary atau Rumah Bunda Maria tidaklah berada di kawasan kota kuno Ephesus. Kita harus keluar dari kawasan wisata itu dan berkendara sekitar 7 km, tepatnya di gunung Nightingale, wilayah Bulbul dagi. Rumah Bunda Maria (Maryam) ini cocok untuk wisata rohani kristen/ katolik di Turki.

Rumah ini ditemukan pada abad ke 19 dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi Bunda Maria/ Maryam dalam sebuah buku dari seorang biarawati. Meskipun tidak ada bukti yang secara kuat membenarkan hal tersebut, tetapi kepercayaan ini tetap terjaga terbukti dengan banyaknya peziarah yang datang termasuk beberapa tokoh Paus.

Bangunan ini merupakan sebuah gereja era Bizantium yang sampai sekarang masih berperan sebagai sebuah gereja. Setiap minggu tetap diadakan misa disana sebagai mana gereja umumnya. Misa khusus juga dilakukan yaitu di tanggal 15 Agustus setiap tahunnya. Pada tanggal ini dipercaya sebagai hari terangkatnya Bunda Maria ke Surga.

Kawasan wisata ini mematok tarif tiket sebesar 15 Lira bagi wisatawan. Kunjungan wisata sendiri bisa dilakukan sejak jam 8:00 sampai 19:00. Gereja ini sendiri bukanlah sebuah bangunan besar. Dibangun pada abad ke 6, strukturnya berupa bata ekspose. Memasuki bagian dalam, terdapat altar khusus Bunda Maria yang menarik mata karena patung Bunda Maria dengan berlatar tembok batanya. Tak hanya umat Kristiani, umat Islam pun boleh masuk dan berziarah. Namun sayangnya, tidak diizinkan mengambil gambar di bagian dalam ini. Untuk keluar dari bangunan, kita bisa menuruni anak tangga dan menuju ke sebuah sumber air. Air ini dipercaya memiliki manfaat untuk kesehatan sehingga banyak pula pengunjung yang mengambil dan menyimpannya di botol untuk dibawa pulang.

9. Sirince Village

Sirince (baca: shi ren jay) adalah desa mungil yang cantik di Turki, perpaduan keindahan alam dan budayanya. Dalam bahasa Yunani, kata “sirince” berarti nyaman atau cantik. Sirince adalah desa dengan 600 penduduk di Provinsi Izmir, Turki, yang terletak sekitar 8 kilometer timur kota Selcuk. Desa ini merupakan desa Orthodox yang cukup tua berjarak 12 km dari Ephesus dan 30 km dari Kusadasi. Meskipun Desa Sirince mengembangkan pariwisata dengan sangat cepat dan mampu mempertahankan keaslian dan arti namanya.

Sirince merupakan desa yang tersembunyi di balik pegunungan dan dikelilingi perkebunan yang membentang hijau. Daerah ini pada awalnya dihuni oleh orang Turki keturunan Yunani. Dulunya desa ini bernama “Cirkince” yang artinya “buruk rupa”. Nama yang sungguh kontras dengan keindahan desa tersebut. Penduduk desa pada masa itu sengaja memberi nama demikian supaya orang asing tidak datang berkunjung. Akan tetapi, seluruh penduduk Yunani keturunan Turki dimigrasikan ke Turki dan seluruh penduduk Turki keturunan Yunani dimigrasikan ke Yunani, setelah perang kemerdekaan Turki. Kisah tentang pertukaran penduduk inilah yang kemudian melatarbelakangi Dido Soutiriou menulis novel ‘’Farewell Anatolia’’. Dido menggambarkan desa itu sebagai potongan surga yang jatuh ke bumi.

Jika ada pemandangan Bar dan toko yang menjual wine, salah satu jenis minuman beralkohol tepat berada di depan sebuah masjid dengan jarak beberapa belas meter saja, maka kita sudah berada di Sirince. Jalanan di Sirince hampir semuanya merupakan jalur setapak sempit yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Di sekitar tempat parkir bus-bus wisata, ada area bazaar kecil yang menjual aneka pakaian, buah kering, kerajinan tangan dan tentu saja wine. Dengan ramahnya para penjual akan mempersilahkan para wisatawan untuk mencicipi dagangan mereka. Tak ada keharusan membeli setelah mencicipi wine mereka secara gratis. Ternyata wine tidak hanya bisa dibuat dari anggur. Rupanya, wine bisa dibuat dari hampir semua jenis buah-buahan. Terbukti di Sirince, ada macam-macam jenis wine yang diperjual-belikan. Mulai wine dari buah strawberry, cherry, apricot, bahkan pisang.

Mengunjungi Sirince, maka akan terlihat kesederhanaan Turki. Penduduknya sangat ramah. Mereka akan menyapa dengan kata ‘’merhaba’’ yang dalam bahasa Indonesia berarti : hai/halo. Anda bisa berjalan menyusuri jalan berbatu ke bagian lebih dalam dari desa ini. Tampak di kiri dan kanan jalan berdiri rumah-rumah khas Yunani. Rumah-rumah itu, kini telah beralih fungsi menjadi toko atau kafe yang ramai dikunjungi turis. Suasana asri masih terasa, kendaraan bermotor tidak diperbolehkan masuk. Susunan rumah-rumah tradisional di sini cukup rapi. Fasad bangunannya mengingatkan pada bangunan di Mediterania, bersusun-susun dengan bentuk yang seragam. Seluruh rumah di Sirince berwarna putih. Bentuk rumah ini sebenarnya sudah bertahan sejak era kekhalifahan Usmani dan masih dipertahankan hingga sekarang. Bahkan oleh pemerintah Turki, rumah-rumah tersebut, kini, benar-benar dijaga keasliannya karena menjadi daya tarik wisata.

Lorong-lorong di Sirince hanya selebar kurang lebih dua meter. Lorong tersebut hanya merupakan jalan dengan susunan batu alam yang seolah ditaruh sembarangan, tidak ditata dengan rapi. Terkadang bahkan dirambati tumbuhan liar. Setelah sepuluh menit berjalan di desa ini, pertama kali yang akan kita jumpai adalah Sirince Market. Di sini akan ditemukan barang-barang khas Sirince seperti minyak zaitun, sabun dan body lotion. Penduduk desa ini memang pandai mengolah minyak zaitun. Selain minyak zaitun, produk yang terkenal di sini adalah wine. Di Sirince Market, kita juga bisa membeli pernak pernik khas Turki seperti aksesoris yang berhias mata biru (nazar bocungu).

Selain Sirince Market, di desa ini juga akan menemukan Gereja St John the Baptist yang sekarang hanya menjadi objek wisata. Gereja yang dulunya menjadi tempat ibadah penduduk Sirince ini berarsitektur Yunani dengan mosaik yang sedikit tersisa. Pengunjung dapat masuk dengan bebas dan menikmati keindahan interiornya. Puas menjelajah, bisa mampir ke Say Artemis Restaurant. Dimana restoran dengan arsitektur khas Yunani dan menempati bangunan batu. Di restoran ini kita bisa masuk ke dalam untuk melihat-lihat interior bangunan dan juga memasuki ruang bawah tanahnya yang juga menjadi restoran. Restoran outdoor-nya menawarkan pemandangan indah ke lembah Sirince. Di restoran ini, kita juga bisa menikmati makan siang di bawah teras yang berhiaskan tumbuhan rambat dengan suasana sejuk.

Secara garis besar Sirince dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian bawah yang berisi rumah-rumah yang sudah dialihfungsikan menjadi toko, restoran, dan pension (penginapan kecil). Di bagian ini pula menjadi area yang paling ramai dari Sirince, di sini pula terdapat pasar tradisional yang menjual komoditas perkebunan dan juga buah tangan khas Sirince. Sementara, bagian kedua adalah bagian tengah, kawasan hunian. Rumah-rumah di sini biasanya dimiliki oleh penduduk asli Sirince yang berprofesi sebagai petani. Ciri khasnya pada kandang ternak, lumbung, dan traktor serta alat pertanian yang diletakkan di halaman. Kemudian bagian terakhir ada di bagian yang paling tinggi dari kontur desa ini. Rumah-rumah yang ada berukuran besar, sebagian ada paviliun, sebagian memiliki halaman dan kebun yang luas. Mungkin dulunya adalah rumah para pembesar atau rumah orang kaya. Semakin masuk ke dalam desa, pengunjung akan semakin menemui pemandangan yang berbeda-beda. Pengunjung akan serasa masuk ke labirin, suatu kali akan tiba-tiba bertemu jalan buntu atau beberapa saat kemudian bisa berjumpa pemandangan perbukitan yang membentang di sekitar Sirince.

Artemis Restaurant