Umat Islam di Andalusia telah berperan sangat besar melalui perjalanan panjang sejak tahun 711M-1492 M yang di bagi dalam enam periode, yaitu:
1. Periode Pertama (711-755 M)
Dalam penaklukan wilayah Andalusia, ada tiga pahlawan Islam yang berjasa memimpin pasukan ke sana, yaitu: Tharif Ibn Abdul Malik Annhaka’i, Tharik Ibn Ziyad dan Musa Ibn Nushair. Tharif Ibn Abdul Malik An-Nhaka’i pada tahun 91 H/710 M di perintah gubernur Musa Ibn Nushair untuk melakukan penjajakan awal memasuki wilayah Andalusia dengan membawa 400 tentara dan 100 pasukan berkuda. Ia dan pasukanya menyebrangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dan mendarat di sebuah tempat yang kemudian di beri nama Tharifa. Ekspedisi ini berhasil dan Tharif kembali ke Afrika Utara membawa banyak harta rampasan (ghanimah).
Pada tahun 92 H/711 M, Gubernur Musa Ibn Nushair mengutus Tharik Ibn Ziyad untuk melanjutkan penyerangan ke Andalusia dengan pasuka sebanyak 7000 orang. Ekspedisi kedua ini mendarat di bukit karang Gibraltar (Jabal Thariq). Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderich tewas. Thariq dan pasukannya terus menaklukan kota-kota penting seperti Cordoba, Archedonia, Malaga, Elvira, Granada dan Toledo sebagai ibu kota kerajaan Visigoth. Pasukan Thariq di tambah 5000 personil sehingga berjumlah 12000 orang Barbar dan Arab ketika akan menaklukan kota Toledo menghadap pasukan Raja Roderick yang berkekuatan 100.000 personel. Sejak saat itu , Islam berkuasa di Andalusia.
Gubernur Musa Ibn Nushair pada tahun 93 H/712 M memimpin sendiri satu pasukan menuju Andalusia melewati pantai barat Semenanjung dan berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Ghotiq, Theodomir di Oriheula. Pasukan Musa Ibn Nushair dan Thariq Ibn Ziyad bergabung di Toledo. Kedua pasukan itu berhasil menguasai seluruh kota penting di Andalusia sampai ke utara seperti Saragosa, Terroofona dan Barcelona.
Andalusia berada di bawah pemerintahan para wali yang di angkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Selama masa ini terjadi dua 20 kali pergantian wali. Periode ini, Islam di Andalusia belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
2. Periode Kedua (755-912 M)
Andalusia berada di bawah pemerintahan seorang panglima atau gubernur yang begelar Amir tapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam Abbasiyah di Bagdad. Periode ini sampai periode keempat merupakan zaman Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia hingga tahun 1031, yakni berdirinya dinasti-dinasti kecil (Mulk al-Thawaif). Penguasa pertamanya adalah Abd al-Rahman ad-Dakhil, keturunan Bani Umayyah yang lolos dari kerajaan Dinasti Abbasiyah yang menggulingkan Dinasti Umayyah di Damaskus. Penguasa selanjutnya Hakam I, Hisam I, Abd al-Rahman al-Ausath, Muhammad Ibn Abdul al-Rahman, Munzir Ibn Muhammad, dan Abdullah Ibn Muhammad. Periode ini, Umat Islam Andalusia mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban.
3. Periode Ketiga (912-1012 M)
Pemerintahan Abd al-Rahman III yang bergelar al-Nasir li dinillah (penegak agama Allah) sampai munculnya raja-raja kelompok (kecil) yang dikenal dengan Muluk at-Thawaif masuk dalam periode ketiga. Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Dengan demikian, pada masa ini terdapat dua Khalifah Sunni di dunia Islam, Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah di Spanyol, di samping seorang Khalifah Syi’ah Fatimiyyah di Afrika Utara (Ali, 1996). Pemakaian gelar Khalifah tersebut bermula dari berita bahwa al-Muqtadir, khalifah daulat Bani Abbasiyah Bagdad, tewas dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam ketidakpastian. Oleh sebab itu, momen tersebut dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memakai gelar Khalifah yang telah dirampas dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih (Yatim, 1994). Gelar ini resmi dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ketiga ini ada tiga orang, yaitu Abd Rahman al-Nasir (912-961), Hakam II (961-976), dan Hisyam II (976-1009 M). Pada periode ini, umat Islam Spanyol berhasil mencapai puncak kemajuan dan kejayaannya. Hal ini dapat disejajarkan dengan kejayaan daulat Abbasiyah di Bagdad. Abd Rahman III merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh gerakan pengacau dan konflik politik dapat diselesaikan sehingga situasi negara relatif aman. Penaklukan kota Elvira, Jain, dan Seville merupakan sebagian bukti keberhasilan Abd Rahman III dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah kepadanya. Setelah sukses mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga berhasil menggagalkan cita-cita Daulah Fatimiyyah untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke negeri Spanyol.
Di bawah pemerintahan Khalifah Abd Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan peradaban yang menggembirakan, terlebih di bidang Arsitektur. Tercatat tidak kurang dari 300 masjid, 100 istana megah, 13.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum berada di Cordova. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri Konstantinopel, Jerman, Perancis, hingga Italia. Bahkan, penguasa negeri-negeri tersebut mengirim para dutanya ke Istana Khalifah. Armada laut yang dibentuk berhasil menguasai jalur lautan tengah bersama dengan armada Fatimiyyah. Kebesaran Abd Rahman III dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar bin Khattab, dan Harun al-Rasyid. Jadi, Abdurrahman III bukan hanya sebagai penguasa terbaik Spanyol, melainkan juga salah satu penguasa terbaik dunia (Ali,1996). Sayangnya, tidak semua tokoh sejarah mengetahui hal ini (Husain,1996).
Penguasa setelah Abd Rahman II adalah Hakam II, yang merupakan seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Koleksi dalam perpustakaannya tidak kurang dari 400.000 buku. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota pun berlangsung cepat. Selanjutnya, Hisyam II naik tahta dalam usia sebelas tahun merupakan awal kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol. Oleh karena itu, kekuasaan de facto berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M. Khalifah menunjuk Ibnu Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan dan saingannya. Atas keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Mansur billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah ia wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualifikasi untuk jabatan itu. Akhirnya pada tahun 1013 M, dewan menteri yang memerintah Cordova menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu
4. Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negeri kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al-Muluk at-Thawaif, yang antara lain berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, dan Toledo (Bosworth, 1993). Pemerintahan terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian internal. Sayangnya, jika terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu, ada pihak-pihak tertentu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Karena menyaksikan kekacauan dan kelemahan yang menimpa keadaan politik Islam, maka orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan untuk pertama kalinya. Akibat fatalnya, kekuatan Islam diketahui mulai menurun dan tiba saatnya untuk dihancurkan
5. Periode Kelima (1086-1248M)
Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode kelima ini, Spanyol Islam masih mempunyai suatu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235M).
a). Dinasti Murrabithun
Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang kuat dan besar yang didirikan oleh Yusuf bin Tasyfim di Marocco, Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah berjuang mempertahankan negerinya dari serangan kaum Nasrani. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan raja-raja Muslim menyebabkan Yusuf bergerak lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia pun berhasil. Kesuksesan ini ternyata tidak dapat diteruskan oleh penguasa-penguasa sesudahnya karena mereka adalah raja-raja yang lemah sehingga mengakibatkan wilayah Saragosa dapat di kuasai oleh kaum Kristen. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabithun baik di Afrika Utara maupun di Spanyol berakhir. Dinasti Muwahhidun muncul sebagai gantinya.
b). Dinasti Muwahiddun
Tahun 1146 M penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut Spanyol. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad Ibnu Tumart (w.1128). Ia adalah seorang cerdas, tangkas, dan tak segan-segan mempunyai pemikiran berseberangan. Ia adalah murid Qadi Ibnu Hamdin. Pada masa ini telah berdiri dua kerajaan kecil-kecil yang kuat yaitu di negara Balansia (Valencia) dan Marsiah (Marcia). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd-Al-Mu’min antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota Muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan terutama saat pemerintahan dipegang oleh Abu Yusuf al-Mansur. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama kemudian, dinasti Muwahhidun mengalami keruntuhan.
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Akhirnya, kecuali Granada, seluruh wilayah Spanyol telah lepas dari kekuasaan Islam.
6. Periode Keenam (1248-1492 M)
Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir Muslim Spanyol di bawah kekuasaan dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman al-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui perkawinan Ferdinand dan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol (Tim, 1994). Namun beberapa kali serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu Hasan yang menjabat pada waktu itu mampu mematahkan serangan tersebut. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille. Abu Hasan dalam suatu serangan berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al-Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil yang berlindung di sana dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al-Hamra ini merupakan pertanda kejatuhan pemerintahan Granada. Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abu l Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang berusaha memanfaatkan situasi ini dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan sebagai penguasa Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh. Tapi ajakan itu ditolaknya. Ketika terjadi pergolakan politik antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melakukan penyerbuan dan berhasil menguasai Alora, Kasr Bonela, Ronda, Malaga, dan Loxa. Pada serangan berikutnya, Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika Utara. Satu-satunya kekuatan Muslim berada di kota Granada dipimpin oleh Abu Abdullah yang kemudian dihancurkan oleh Ferdinand. Abu Abdullah dipaksa menyampaikan sumpah setia kepada Ferdinand dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat Islam sebagai imbalan dari diberikannya hak hidup dan kebebasan beragama bagi orang Islam. Peralihan kekuasaan yang menyedihkan itu terjadi pada tanggal 3 Januari 1492M (Ali, 1996; Yatim, 1994). Dengan demikian, berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Akibatnya, pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat Islam yang hidup di daerah ini.