Nama Al-Azhar As-Syarif bukan lah nama asing yang jarang di dengar. Nama ini adalah sebuah tempat yang banyak dijadikan sebuah harapan oleh beberapa santri untuk menimba ilmu disana. Manhaj Al-Azhar yang wasathi dan peran alumninya yang sudah terbukti menjadi patokan sebagian banyak santri di pondok pesantren untuk bisa pergi ke Mesir dan melanjutkan jenjang studi selanjutnya disana.
Al-Azhar As-Syarif sendiri didirikan oleh seorang arsitek handal bernama Jauhar As-Saqli. Nama Aslinya adalah Abu Husein Jauhar bin Abdillah, seorang pemuda cerdas dari kota Shoqli atau Sicily, Italia. Dimasa Dinasti Fathimiyyah ia dipercaya untuk membangun Kota Kairo, dan mendirikan Masjid Al-Azhar didalamnya. Nama As-Saqli diambil dari kota tempat lahirnya Shoqli atau Sicily. Beliau lahir pada tahun 928 M, dan wafat di Kairo pada tahun 992 M.
Masjid Al-Azhar mulai didirikan pada tanggal 25 Juli 970 M. Pembangunanya memakan waktu dua tahun, dan pertama kali dipakai pada hari Jum’at 26 Juni 972 M. Saat itu Khalifah Muiz Liddinillah Al-Fathimi mengadakan uji coba pemakaian Masjid Al-Azhar sebelum ia resmikan. Masyarakat mesir saat itu sangat gembira dengan didirikannya Masjid baru bernama Al-Azhar, masjid ketiga yang didirikan di Mesir setelah Masjid Amr bin Ash dan Masjid Ibnu Thulun. Setelah dirasa layak digunakan, akhirnya Khalifah Muiz liddinillah Al-Fathimi meresmikan Masjid tersebut pada Idul Fitri di tahun yang sama, dan menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai Masjid baru untuk ibu kota baru, yaitu Kairo. Setelah diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Khalifah Mu’iz liddinillah, Masjid Al-Azhar setiap harinya sangat ramai dikunjungi masyarakat sekitar untuk melaksanakan sholat lima waktu. Selain untuk beribadah, saat itu juga Khalifah membuka Maidah gratis untuk siapa saja yang datang, dan dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan oleh sang Khalifah.
Nama Al-Azhar kemudian dibicarakan banyak orang saat itu, dan menjadi daya tarik baru bagi yang tinggal di luar Kairo untuk datang dan mengunjungi salah satu Masjid peradaban tersebut. Adapun penamaan masjid ini dengan Al-Azhar sendiri merujuk kepada putri Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Fathimatuzzahra. Pada dinasti Fathimiyyah saat itu, nama yang merujuk kepada ibunda Sayyid Imam Husein tersebut sangat banyak sekali. Contohnya benteng Zahirah dan taman kota yang bernama Zahirah juga. Jadi nama Al-Azhar sendiri sangat mudah diterima, bukan sesuatu yang baru dan tentunya tidak ada penolakan dari siapapun.
Selain untuk menjadi pusat ibadah, Tujuan utama didirikannya Masjid Al-Azhar oleh Khalifah Mu’iz Liddinillah adalah untuk menyebarkan Faham Syi’ah, yang dimana faham itu diajarkan di halaqah-halaqah ilmu yang ada didalam Masjid Al-Azhar saat itu. Halaqah ini resmi dibuka pada bulan Oktober 975 M yang dipelopori oleh Abu al-Hasan bin Nu’man Al-Maghribi. Metode yang diajarkan pada saat itu adalah metode yang juga sekarang masih diterapkan di Ruwaq-ruwaq yang ada di Masjid Al-Azhar. Yaitu seorang syaikh atau guru duduk didepan murid-muridnya, dan para murid mendengarkan, memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan syaikh/ guru.
Kegiatan belajar mengajar untuk umum ternyata berjalan hanya 13 tahun saja. Pada tahun 988 M seluruh kegiatan belajar di Masjid Al-Azhar diambil alih oleh khalifah pada saat itu, dan mandat kepengurusanya diberikan kepada seseorang kepercayaan khalifah yang bernama Ya’qub bin Yusuf Kilsi. Ya’qub adalah seorang yang sangat setia pada Dinasti Fathimiyyah. Ia lahir di Baghdad di lingkungan orang tuanya yang memeluk ajaran Yahudi cukup kental. Pada tahun 966 M Ya’qub membai’at dirinya untuk memeluk islam dan setia pada pendirian Dinasti Fathimiyyah. Kesetiaan Ya’qub ini sangat tampak dan beberapa kali menjadi kepercayaan Khalifah Mu’iz liddinillah. Sampai-sampai iya mendapat julukan khusus dari sang khalifah dengan julukan “Wazir” yang berarti menteri. Di masa kepengurusanya, Ya’qub membatasi masyarakat yang ingin belajar di Masjid Al-Azhar. Dia kemudian menyeleksi beberapa orang saja, dan memilih 37 dari pendaftar yang sudah mengajukan diri. Pelajar yang sudah terpilih berhak belajar di Masjid Al-Azhar dengan guru-guru yang sudah disediakan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga memberi beasiswa berupa uang simpanan, makan setiap hari dan tempat tidur untuk 37 pelajarnya yang dibangun di sekitar Masjid Al-Azhar. Pada saat itu juga nama Al-Azhar sangat terkenal dengan pengakaderan Madzhab Syi’ahnya yang serius di lingkungan Masjid Al-Azhar.
Madzhab Syi’ah yang dianut Dinasti Fathimiyyah dan diajarkan di Masjid Al-Azhar bertahan selama 189 tahun. Shalahuddin Al-Ayyubi yang saat itu mempunyai banyak pengikut, mencoba untuk membuat dinasti baru bernama Ayyubiyyah. Mesir, Syam, Hijaz, Tihamah, Yaman dan beberapa negara lainya ia gandeng untuk membuat sebuah kesatuan dan persatuan. Sebuah Dinasti yang bermadzhabkan Sunni Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebelum mendeklarasikan diri sebagai dinasti baru, Langkah pertama yang dilakukan Dinasti Al-Ayyubiyyah adalah menutup seluruh bangunan dan tempat peribadatan yang didirikan oleh dinasti Fathimiyyah, termasuk didalamnya Masjid Al-Azhar Asy-Syarif.
Pada tahun 1171 M akhirnya Masjid Al-Azhar menjadi salah satu bangunan yang ditutup dan benar-benar tidak diaminkan fungsinya oleh Dinasti Ayyubiyyah. Semua kegiatan di Masjid ini juga diberhentikan. Seperti kegiatan belajar mengajar, perayaan hari besar, sholat jum’at hingga sholat lima waktu. Untuk mengganti peran Masjid Al-Azhar, Dinasti Ayyubiyyah membangun sebuah masjid yang tidak kalah besar dari Masjid Al-Azhar, bernama Masjid Al-Hakim bin Amrillah. Selain menutup beberapa tempat, Dinasti Ayyubiyyah juga menghancurkan beberapa benteng dan istana milik Dinasti Fathimiyyah yang kemudian menggantinya dengan benteng dan istana yang baru resmi dibawah nauangan Dinasti Ayyubiyyah. Hal ini ia lakukan demi menghentikan seluruh faham Syi’ah yang sudah mengakar di Masyarakat Mesir.
Untuk mengedukasi faham sunni Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dinasti Ayyubiyyah juga mempunyai beberapa program berupa mendirikan beberapa Madrasah di sekitar Masjid Al-Azhar. Madrasah-madrasah ini dibuka untuk umum menggantikan peran Masjid Al-Azhar yang ditutup total. Selain ingin menghentikan penyebaran faham Syi’ah di Mesir, penutupan Masjid Al-Azhar juga didukung oleh Fatwa salah satu Hakim bermadzhab Syafi’i bernama Shadruddin Abu Qasim bin Dirbas As-Syafi’i. Fatwa beliau berupa larangan adanya beberapa sholat jum’at, sholat idul fitri dan sholat idul adha didalam satu Kota. Jadi menurut fatwa tersebut, sholat Jum’at dipusatkan di Masjid yang baru dibangun Dinasti Ayyubiyyah saja, yaitu Masjid Hakim bi Amrillah. Adapun dua masjid besar lainya yaitu Masjid Amru bin ‘Ash dan Masjid Ibnu Thulun tidak masuk kawasan Kota Kairo, melainkan Kota Fustath. Penutupan Masjid Al-Azhar dan memindahkan kegiatanya ke Masjid Al-Hakim bi Amrillah berlangsung hingga 100 tahun lamanya, yang kemudian Masjid Al-Azhar dibuka kembali dan menjadi pusat ibadah dan pembelajaran madzhab Sunni Ahlussunnah wal Jama’ah.
Setelah 100 tahun ditutup, akhirnya Masjid Al-Azhar dibuka kembali. Saat itu kekuasaan sudah berpindah ke Dinasti Mamluk yang dipimpin oleh Pangeran Zahir Bairbars. Adapun utusan pangeran yang diperintah untuk membuka kembali Masjid Al-Azhar bernama ‘Izzuddin Al-Hilli As-Solihi, seseorang yang memiliki postur tubuh yang sangat besar keturunan keluarga kerajaan Zahir Bairbas, penguasan Kota Kairo dan terkenal dengan hartanya yang melimpah.
Pangeran Izzudin Al-Hilli As-Solihi ternyata sangat serius ingin merenovasi Masjid Al-Azhar dan membangun Kota Kairo. Ia pun menghadap Penguasa tertingginya Zahir Bibars untuk menyampaikan niatnya. Zahir Baibars pun senang dengan rencana ‘Izzudin dan memberi dana tambahan untuk pembangunan dan proses renovasi. Langkah awal yang dilakukan Pangeran Izzudin adalah merenovasi Masjid Al-Azhar, membuat Mimbar Khutbah, Membangun beberapa madrasah baru dan mendirikan rumah bagi dia dan keluarganya di samping Masjid Al-Azhar. Setelah selesai proses pemugaran, akhirnya masjid Al-Azhar kembali resmi digunakan dengan sholat jum’at sebagai tanda peresmianya. Dan saat itu Pangeran ‘Izzuddin Al-Hilli As-Sholihi lah menjadi khatib pertama setelah 100 tahun Al-Azhar ditutup dan diberhentikan fungsinya. Madrasah yang ia bangun pun ramai, pengajian di Masjid Al-Azhar juga tidak kalah ramai dikunjungi pelajar dan masyarakat yang sedang haus ilmu. Semenjak itu juga Al-Azhar terkenal sebagai kiblat ilmu hingga sekarang.
Dikutip dari tulisan Muhammad Fachry Fanani, Lc (Wakil Ketua PC GP Ansor Mesir 2021)