Frame BSC menuju Indonesia Adil dan Makmur

Seandainya diberi kesempatan bertemu dengan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono, ingin rasanya menyampaikan sesuatu agar Bapak presiden lebih mudah dan fokus mengurus negara ini, betul ini bukan masalah simplifikasi, tapi benar-2 berangkat dari pengalaman kerja dan hasil perenungan beberapa tahun terakhir ini.

Persoalan negara memang banyak, bahkan semakin menggunung, dengan penduduk kira-kira 230 juta, pertumbuhan penduduk kira-kira 0.2 % per tahun, kurang lebih 300 suku, 740 bahasa daerah, daratan kira-kira 17500 pulau, sistem politik yang masih belum tertata dengan baik, ditambah dengan mudahnya sebagian besar masyarakat disulut oleh isu suku, ras dan agama (sara), kompleksitas permasalahan bangsa ini boleh disebut sempurna. Apakah dengan kenyataan ini  kita sebagai anak bangsa harus berputus asa untuk membenahi negara tercinta ini.

Mari kita mulai dari  yang paling sederhana tapi fundamental, yaitu dari isi Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia, sangat jelas tujuan negara kita: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Negeri ini sudah merdeka, bersatu dan berdaulat, tetapi masih jauh dari keadilan dan kemakmuran.

Sebelum berbicara tentang masyarakat adil dan makmur, perlu mengenali terlebih dulu apa indikator kemakmuran dan keadilan itu. Tanpa itu kita sebetulnya sedang membicarakan makhluk yang tidak jelas wujudnya. Para pakar sering membahas puluhan bahkan ratusan angka statistik yang dikeluarkan oleh BPS, tapi tidak menyimpulkan apa-apa dalam konteks makna keadilan dan kemakmuran itu. Oleh karenanya, kami mencoba menseleksi dan muncullah 5 (lima) indikator yang paling utama dan paling representatif menggambarkan tingkat keadilan dan kemakmuran suatu bangsa.

Pertama adalah Produk Domestik Bruto perkapita, kalau diibaratkan didalam sebuah keluarga indikator ini mirip dengan pendapatan keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Menurut data IMF tahun 2011, PDB per kapita Indonesia sebesar $4,668 menempati peringkat 119 dari 181 negara yang disurvai. Qatar adalah negara dengan PDB perkapita tertinggi sebesar $102,891, disusul oleh Luxemburg ($84,829), Singapura ($59,939), dan Norwegia ($53,376). Sedangkan yang terendah adalah Republik Demokrasi Kongo diperingkat 181 dengan PDB per kapita $347.

Kedua adalah Tingkat Kemiskinan, berdasarkan standar garis kemiskinan nasional (Rp 230.000 per orang per bulan), masih tercatat 13.33% penduduk di bawah garis kemiskinan. Lebih mengenaskan lagi kalau digunakan standar garis kemiskinan internasional (US$2 per orang per hari), angka kemiskinan membengkak menjadi 30%). Untuk tahap sekarang ikuti saja garis kemiskinan menurut BPS, tapi angka kemiskinan itu yang perlu diprioritas untuk diturunkan sesegera dan sebanyak mungkin. Kalau sudah mencapai 0%, maka barulah diubah standar garis kemiskinan mengikuti standar internasional.

Ketiga adalah Tingkat Pengangguran Terbuka, menurut data BPS per tanggal 6 Agustus 2011, TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA secara nasional adalah 6.56%.

Ketiga indikator tersebut merepresentasikan tingkat kemakmuran masyarakat secara ekonomi sekaligus pemerataannya. Apakah kemakmuran ekonomi saja cukup?, tentu jawabnya tidak, masyarakat juga perlu berkualitas baik secara pendidikan maupun kesehatan.

Keempat adalah Tingkat pendidikan, sebelum membahas kualitas pendidikan, lebih prioritas diukur kesempatan masyarakat sekolah. Untuk itu digunakan indikator Rata-rata Lama Sekolah masyarakat yang usianya 15 tahun keatas. Berdasarkan data UNESCO, Rata-rata lama sekolah tertinggi adalah Amerika Serikat dengan 12 tahun, Indonesia adalah peringkat ke 66 dari 100 negara, yaitu 5 tahun, berarti rata-rata tidak tamat SD. Sedangkan peringkat terendah adalah negara Guinea-Bissau yaitu 0.8 tahun.

Kelima adalah Tingkat Kesehatan masyarakat yang diukur dari ANGKA HARAPAN HIDUP. Berdasarkan data CIA World Factbook (perkiraan 2011), peringkat tertinggi adalah Monako dengan angka 89.73 tahun, Indonesia diperingkat 137 dengan angka 70.76 tahun, sedangkan terendah adalah negara Swaziland di Afrika, peringkat 223 dengan angka harapan hidup yang hanya 31.88 tahun. Sebetulnya ada indikator yang lebih tepat untuk Indonesia, yaitu persentase biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat. Semakin kecil rasio ini semakin baik. Namun saya belum punya datanya.

Kalau saja Bapak SBY hanya fokus mengendalikan 5 indikator ini saja tentu akan lebih sederhana dan luar biasa hasilnya. Kenapa kita sebut sederhana, Bapak Presiden tinggal panggil Menteri Koordinator Perekonomian, berikan target PDB, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran untuk 5 tahun kedepan, kemudian panggil lagi Menteri Pendidikan, berikan lagi target  Rata-2 lama sekolah untuk 5 tahun kedepan, lalu Menteri Kesehatan, juga berikan target tahunan untuk 5 tahun. Terakhir panggil semua menteri, minta mereka semua mendukung target 3 menteri diatas. Langkah berikutnya Bapak presiden memantau terus capaian-capaian indikator-indikator tersebut setiap bulan. Kalau dibawah target berikan arahan untuk melakukan tindakan koreksi sedemikian sehingaa target-2 yang telah ditetapkan tercapai, bahkan bisa melampaui.

Kalau seandainya target kelima indikator itu bisa kita proyeksikan dan relasisasikan seperti tabel di bawah, sudah bisa kita bayangkan wajah kemakmuran negara kita lima atau sepuluh tahun kedepan.

 

Kalau target-target ini dipantau secara reguler dan dilakukan corrective action secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin target itu akan tercapai. Bayangkan seandainya semua target ini tercapai, maka wajah kemakmuran Indonesia tentu akan berubah signifikan. Pada tahun 2016 PDB per kapita kita sudah lebih $9,000, tingkat kemiskinan tinggal separo, pengangguran tinggal 3%, tingkat pendidikan rata-2 tamat SMP, dan tingkat kesehatan sudah masuk 10 besar dunia. Apakah ini mimpi? Bukan… target ini sangat mungkin dicapai, nasib bangsa Indonesia sangat mungkin diubah menjadi adil dan makmur, semoga…

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *